Kamis, 31 Juli 2014

Ceritaku 1

CHAPTER 2
Pesawatku akan transit di Malaysia. Transitnya ternyata lama juga, sekitar 5 jam-an mungkin ada, padahal jam telah menunjukkan pukul 9 malam waktu Malaysia. Daripada aku jenuh, aku sms-an dengan Rina sekaligus memainkan facebook. Hal yang kuduga terjadi juga. Stan yang merasa menyesal mengirim pesan melalui facebookku, isi pesannya seperti ini.

Aku minta maaf, aku tak bermaksud menyakitimu. Aku sangat ingat sekali dengan perkataan kakakmu, Icha gak bakal ngasih kesempatan kedua ataupun kesempatan ketiga terhadap orang yang telah menyakitinya meskipun dia sudah memaafkan orang itu.

Sayang.. Assalamualaikum, kamu dimana, dear? Kamu akan kembali, kan? Kembali dan menjadi istriku? Aku kan sudah pernah janji padamu kalau kita tidak akan terpisah kecuali maut yang memisahkan? Kamu ingat itu?

Sempat meneteskan air mata sambil tersenyum.
Assalamualaikum, Icha. Mungkin inilah jalan yang kamu mau, maaf mengganggumu. Aku akan jadikan ini kenangan yang termanis. Terima kasih pernah menjadi orang yang kucintai dan menghiasi hariku dengan penuh warna.

Hal yang terakhir yang Stan kirimkan adalah dia memotret cincin tunangan kita yang masih terlingkar di jarinya dan mengirimkan fotoku selama di London. Ternyata diam-diam, dia sering memotretku. Mungkin aku termasuk orang yang sangat beruntung, pernah menjadi putri dalam dongeng untuk beberapa hari.

Setelah membaca serta melihat foto yang dikirimkannya, aku langsung menghapusnya dari pertemananku, bukan aku merasa kesal tapi aku termasuk tipe orang yang gak bakal bisa lupa kalau orang tersebut masih saja bisa kulihat walaupun orang tersebut sangat jauh jaraknya denganku. Tapi foto yang telah dikirimkannya tetap kusimpan sebagai kenanganku nanti.

Handphoneku berdering, kulihat namanya. Tidak ada namanya di ponselku kali ini. Saat ku angkat.

“Hallo, Assalamualaikum. Ini dengan..?”

“Hi, Cha. Kamu harusnya berpamitan langsung denganku, jangan lewat kak Catherine.”

“(aku tak menjawab, aku terdiam dan sangat terkejut)”
Langsung ku matikan ponselku demi kebaikanku. Aku lupa ternyata saat dipesawat aku sudah menghapus nomor atau apapun itu mengenai Stan Subrata, mantan tunanganku, kecuali foto. Handphone yang awalnya untuk sms serta main facebook itu, langsung ku non-aktifkan untuk beberapa jam kedepan. Jadi, saat itu aku hanya mendengarkan lagu.
3 jam berlalu, boring  sangat. Sedih rasanya bila sendiri. Kali ini aku sadar, bahwa setiap orang memerlukan namanya kasih sayang, tapi harus ingat kasih sayang itu tidak harus dengan lawan jenis atau dalam artian tidak harus berpacaran. Selama ini aku memliki kasih sayang dari kakak serta sahabatku yang sangat kucinta.
Daripada aku diam saja, aku memutuskan untuk membeli beberapa makanan untuk dimakan sambil menunggu pesawatku yang akan datang.
30 menit makanan yang aku beli sudah ada ditangan, baru saja aku duduk di tempat yang sama saat aku duduk tadi. Suara cewek dengan loudspeaker yang sangat besar mengatakan bahwa pesawatku telah tiba. Ternyata tidak jadi 5 jam, hanya 3 jam lewatan. Dengan sangat berat hati aku memakan  cemilanku di dalam pesawat.  
Selama perjalanan aku hanya memakan cemilan yang kubeli sambil menonton acara yang kakakku produserin. Yah, di pesawat ini menayangkan acara-acara dari Singapura, Indonesia, London, Arab, dan beberapa negara lagi. Sangat canggih transportasi masa kini.
Tidak terasa ternyata aku sudah sampai di Jakarta, 1,5 jam waktu yang kuperlukan dari Malaysia hingga Jakarta. Artinya aku sampai di Jakarta sekitar pukul 11 lewat dikit-dikit.
Di Bandara Soekarno-Hatta berdiri lelaki tua memakai kacamata dan topi. Itulah Pak Suparman, gaya beliau memang sangat fashionable banget deh. “Gak pengen terlihat jadul”, itulah perkataan beliau apabila kita menanyakan mengenai gaya dari beliau.
“Bapak (sambil tersenyum dan langsung menyiumi tangan dari bapak yang sangat baik hati).”
“Iya, bagaimana selama disana? (sambil menyambut tanganku)”
“Sangat seru, pak. Aku bertemu beberapa teman dari setiap universitas yang aku kunjungi, pak.”
“Baguslah bila sudah berteman dengan orang-orang yang kamu temui disana. Lalu oleh-olehnya mana buat bapak?”
“Oleh-oleh? Maaf, pak aku lupa membelikannya. Aku tidak bawa apa-apa juga, pak.”
“Yah.. Bapak juga hanya bercanda. Kan, kamu disana belajar bukan main-main. Mari jalan.(dengan tersenyum)”
“Mari, pak.”
Ternyata Pak Suparman telah memanggil taksi untuk aku kendarai ke hotelku. Dan hal yang baru aku ketahui adalah bukan hanya aku yang ada di Jakarta, beberapa temanku dari UGM juga berada di Jakarta sekarang. Mereka datang bukan untuk menyambutku, mereka datang karena akan berdiskusi denganku mengenai fasilitas dan segala macam tentang kampus. Ide ini tercetus oleh Pak Suparman, beliau ingin agar mahasiswa bisa memiliki ide untuk mengubah kampus sebagai tempat yang sangat nyaman dan bukan tempat yang sangat mengerikan bagi setiap mahasiswa.
Aku menaiki taksi dan Pak Suparman menaiki mobil pribadinya, beliau mengikuti taksi yang kutumpangi. Beliau memang guru yang sangat super duper baik dan selalu mengerti tentang mahasiswanya. Maka dari itu beliau sudah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri.
1 jam dari Bandara Soekarno-Hatta aku tempuh untuk dapat ke tempat peristirahatanku sementara. Tepat setelah aku menurunkan koperku, Pak Suparman berpesan padaku agar aku memberikan yang terbaik untuk semuanya, termasuk diriku. Nasihat itu akan selalu kuingat.
Sehabis aku check-in, aku memegang handphone dengan cekatan aku mengirim sms ke kakakku dan Rina memberitahukan mereka bahwa aku sudah sampai di Indonesia, dan tepatnya di Jakarta. Selama di Jakarta aku akan menginap di Atria Hotel dan Conference Gading Serpong. Menuju kamarku, kutunggu balasan dari mereka tapi tak satupun dibalas, aku berpikir mereka sudah tidur. Oleh karena itu, aku putuskan untuk beristirahat. Namun, sebelumnya aku melaksanakan shalat sunnah tengah malam dulu.

Dalam do’aku tersirat tentang kejadian yang kualami selama di London, do’a untuk kedua orangtuaku yang telah tenang dialamnya, dan untuk orang-orang yang telah menyayangi aku seperti kakakku, Rina, dan Keluarga Pak Suparman. Stan Subrata, iya nama itu.. Nama itu juga ada didalam do’aku, aku berdo’a agar kelak dia mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa membuat dia bahagia.
Sehabis shalat sunnah tengah malam, aku langsung tidur karena kelelahan. Sebelum mataku tertutup, aku masih memikirkan hal-hal yang aneh, entah itu tentang si cowok facebook, tentang enaknya Rina bareng kakakku dan hal yang harus kukerjakan untuk kampusku.
4.30 WIB alarm dari hpku berbunyi, masih sangat ngantuk namun harus kukejar waktu karena pagi ini aku harus menemui teman-temanku. Sebelum pergi aku harus menuntaskan shalatku, ya.. tentu saja aku harus shalat subuh, masa jam segini aku harus berpergian.
Menggosok gigi, mengambil air wudhu, shalat dan berdo’a. Lagi dan lagi, kuteteskan air di pipiku.
“Ya Allah, hamba-Mu ini mengucap syukur pada-Mu. Begitu banyak kejadian yang menyenangkan, namun Kau menunjukkan sebuah kebenaran. Terima kasih, ya Allah. Hamba-Mu ini selalu meminta agar setiap orang yang selalu menjaga hamba-Mu ini diberi kelancaran dan kemudahan dalam menghadapi cobaan yang telah Kau berikan, dan yang telah membuat hamba-Mu ini menangis berikanlah sebuah hidayah, ya Allah. Satu hal lagi yang hamba inginkan agar orangtua hamba diberikan tempat yang sangat indah, ya Allah. Amin.”
Handphone yang kutaruh di atas meja berbunyi, cukup membuat diriku yang baru saja mengelap air mata kaget. Kulihat, tertulis nama Rina. Ya, Rina menelponku.
“Assalamualaikum, sayang. Kamu baru bangun tidur, ya?” Katanya
“Wallaikumsalam, gak kok. Aku baru aja shalat subuh. Emang ada apaan?”
“Yeeh, kan aku kangen padamu. Ckckckck….(tertawa kecil)”
“Hadeh, ditanya beneran juga.”
“Ihh, ini aku beneran, aku tu kangen dengan kamu, dan kamu harus cepat-cepat datang ke Singapur, ya. Aku pengen kamu berada disamping.”
“Iya, sayang. Aku bakal ke tempat kamu tapi gak hari ini. Jadwal aku masih padetttttt banget. Ohh ya, gimana dengan Lee? Kalian masih bersama, kan? Tidak ada pertengakaran, kan?” Tanyaku dengan sangat penasaran
“Mmm.. untuk itu, gimana ya?”
“Gimana apanya? Jangan bilang kalau kamu sudah putus dengan dia, aku gak mau lho saat aku datang kesana lihat kamu sendirian.”
Oh my God, gak mungkin lah. Alhamdulillah aku sama Lee masih bersama.”
“Syukur lah, sudah jalan berapa lama?”
“Kalau diitung-itung sudah ampe 2 tahun.” jawab dengan gurauan
“Alamak, baru juga, udah dibilang 2 tahun. Aku kok ampe lupa. Dimana kakakku? Jangan-jangan?”
“Apa lagi thu? Kakakmu tadi pulang dan langsung tepar dikamarnya. Bener katamu, Cha. Sam sungguh keren dan pinter. Kamu masih aktifkan di facebook? Karena aku bakal kirim foto-foto saat bersama Sam, sungguh kita berpose layaknya model. Emang cocok, aku cantik dan Sam tampan.”
“Hadeh, sudah ku tebak kamu bakal memuji dan memuja Sam. Tapi kalimatmu tadi tak bisa ku terima. Emang sih, Sam tampan dan tampak seperti model kecil tapi tidak dengan dirimu deh. He.. he.. he.. ” kataku sambil tertawa
“Iya.. iya deh. Sudahlah, kita akhiri pembicaraan sampai disini dulu. Dan saya meminta maaf atas karena saya telah mengganggu, ya. Wassalamualaikum.” jawabnya dengan nada seperti orang yang penting
“Hhmm..iyalha. Wallaikumsalam.”
Saat kulihat jam, ternyata selama 1 jam aku mengobrol dengan Rina. Padahal aku ingin sekali berbicara dengan kakakku tapi apa boleh buat, kakakku telah lelah jadi aku tidak bisa mengganggunya.
Kini waktuku hanya tertinggal 2,5 jam lagi untuk beristirahat dan lanjut untuk menemui teman-teman dari UGM. Untuk itu aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin tapi aku masih kepikiran dengan hal-hal apa saja yang akan dibicarakan. “Lebih baik aku siapkan apa-apa saja yang akan aku diskusikan bersama teman-teman selama 1,5 jam dan 1 jamnya aku istirahat (kataku dalam hati)”.
1,5 jam telah terlewati, artinya bahwa waktu untuk menyiapkan hal-hal yang akan didiskusikan sudah kulewati tinggal 1 jam lagi dan aku harus istirahat. Jam 8 pagi aku harus merapat ke Lobby hotel tempatku menginap, disitulah tempat aku akan bertemu dengan teman-teman dari UGM.  
Jam 7.15 alarmku berbunyi, tentu saja mengagetkanku dari lelapnya tidurku. Aku harus segera mandi dan ganti pakaian. Sekitar 15 menit waktu untuk mandi dan 10 menit untuk berpakaian. Yah, tepat banget aku tidak tepat waktu. Maklumlah, masih didera jet lag.
Keluar kamar hotel aku sambil melihat hp, sudah 10 sms yang masuk dan semua itu dari teman-temanku, dan isinya tertulis “Cha, kamu dimana” atau nggak ”Assalamualaikum, selamat pagi, Teri dah bangun?” beginilah orang yang belum bisa tepat waktu. Namun, semua sms itu tidak kubalas karena tidak sempat.
Sesampainya di Lobby, sudah ada 5 orang teman aku dari 9 orang. “Ohh, untunglah bukan aku yang sangat terlambat.” kataku didalam hati sambil jalan mendekati teman-teman yang telah memesan makanan dan minuman untukku dan beberapa teman yang belum datang.
“Hai.” sapaku
“Hai. Bagaimana nie yang baru aja pulang dari London? Bawa oleh-oleh gak?”
“Yah, gitu deh. Tapi maaf banget ya, aku gak bawa oleh-oleh bukan gak mau sih tapi kan kalian tahu sendiri aku kesana bukan untuk main-main.”
“Iya, iya. Gak papa, kok. Sekarang kita langsung aja ya diskusinya.”
“Tapi Fa, anak-anak yang lain kan belum datang? Kasian ntar mereka ketinggalan pembahasan kita gimana?” tanyaku ke Fanny
“Ohh.. iya sih, baiklah kita tunggu mereka dulu deh.” jawabnya yang telah siap untuk diskusi
Inilah kekeluargaan aku dan teman-teman lainnya, selain aku punya sahabat, aku juga punya banyak teman yang bisa diajak hang out bareng dan lain-lainnya. Memang sangat menyenangkan bila punya orang-orang terdekat yang bisa mengerti dan memahami kita. Aku sampe lupa, 9 orang temanku ini bernama Fanny, Gandi, Westi, Herna, Aryan, Hasna, Jeremy, Yeni dan Putu. Kita semua sering banget berkompetisi untuk bisa ngerebut hati para dosen.
Sambil nunggu Aryan, Gandi, Hasna dan Herna, aku sms kakakku. Aku sungguh merindukan kakakku, Rina, Sammy dan orangtuaku. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat orangtuaku yang telah berada dialam lain. Aku ingat saat umurku masih 5 tahun, aku sangat dimanja, disayang sampai-sampai kakakku, Tasya menangis karena cemburu padaku. Seandainya saat itu aku ingat pesan dari orangtuaku untuk jadi sukses dulu dan tidak menerima lamaran laki-laki itu, mungkin aku tidak akan tersakiti. Pembelajaran yang sangat berharga untukku.
20 menit berlalu namun hanya ada Gandi dan Hasna yang baru saja datang. Aku memanfaatkan waktu menunggu dengan foto-foto bareng dengan teman-temanku yang sudah lama tak berteman. Tengah asik-asik memotret, hpku berbunyi.
“Maaf, ya. Kalian lanjut foto-fotonya deh make hp yang lain, ya.” sambil menuju ke toilet untuk mengangkat telepon yang masuk
“Baiklah. Tapi jangan dihapus foto-foto yang ada dihpmu.” kata Jeremy
“(hanya tersenyum)”
“Assalamualaikum?” lanjutku sesaat setelah sampai di toilet
“Walaikumsalam, maaf kakak gak bisa bales sms kamu. Karena kakak lagi make hp dari suami kakak dan hp kakak ada di suami kakak.” kakakku yang ternyata memakai hp dari suaminya
“Ohh.. gitu, ya. Gak papa kok, kak.”
“Ya. Terus adik kakak yang cantik dan pinter ini ada apa tadi sms kakak?”
“Gak ada apa-apa sih, kak. Cuman mau smsan sama kakak karena kangen banget. Dan sekarang aku sudah di Jakarta. Satu hal lagi…”
“(memotong) Jadi kamu sudah di Indo? Tapi kamu kok ke Jakarta? Bukan ke Yogya? Ada apa lagi? Masih ada pekerjaan yang belum kamu selesaikan, ya?” tanya kakak dengan penasaran
“Hmm.. kakakku, aku belum selesai bicara udah dipotong aja. Ya, aku masih ada pekerjaan. Kemarin saat aku baru nyampe di Jakarta, Pak Suparman baru memberitahukanku kalau aku harus berdiskusi dengan beberapa teman dari UGM juga tapi mereka udah ada di Jakarta.”
“Diskusi? Diskusi apaan? Kasian adik kakak yang satu ini. He he he.” dengan tertawa kecil
“Alamak, kakak ini. Sabar.. kata kakak, adik kakak yang satu ini? Emang kakak punya adik lain, ya?” candaku
“Gak, kok. Kan Rina udah kakak anggap adiknya kakak juga, sayang.”
“He he he. Cuma becanda kok, kak. Udah dulu, ya kak. Ntar kalau aku udah diskusi, aku sms kakak deh di nomor hp ini.”
“Oh.. baiklah, kakak tunggu, ya. Wassalamualaikum.”
“Wallaikumsalam.”   
Aku sangat senang bisa ditelepon dengan kakakku, karena saat ini aku benar-benar sangat merindukannya. Begitulah pembicaraanku dengan kakakku tersayang. Bagi kami berdua waktu itu bukanlah halangan, apalagi ini untuk orang yang kita sayangi. Sebenarnya, aku ingin sekali mengobrol dengan kakakku lebih lama tapi aku tidak enak dengan teman-teman yang lainnya.
“Kalian menunggu lama, ya? Maaf, ya?”
“Tidak kok, tinggal Aryan aja nie yang belum datang.” jawab Herna sambil cipika-cipiki bersamaku karena dia baru saja tiba
“Nah, ini dia orangnya. Bapak lama sekali, ya. Tancap berapa bedak, sih?” canda Putu
“Maaf, tadi tu macet banget. Kan kalian semua tahu sendiri kalau Jakarta ini gak melihat jam berapa pasti macet.” kata Aryan yang merasa bersalah
“Ya sudahlah, kita mufo dulu dong. Kan, sekarang dah lengkap orang-orangnya. Yuk!” ajak Jeremy si narsis
“Hmm.. kebiasaan lamamu tidak bisa diilangin ya, Jer.” balas Putu
“Bener juga, sih. Ini juga kan momen-momen yang sangat jarang.” kata Herna
“Sudahlah, jangan rebut gitu dong. Yuk mufo.” kataku
Beberapa menit sehabis foto-foto bareng teman-teman. Kita semua langsung serius untuk diskusi.  Diskusi kali ini buat aku sangat lelah. Mungkin ini yang sangat melelahkan dari sekian banyak diskusi yang pernah kulakukan bersama mereka. Karena kali ini mereka sungguh-sungguh banget sampai aku harus memutar otak untuk cari alasan mengapa aku tak setuju dengan mereka. Emang semuanya telah berubah lebih baik, padahal aku hanya 3 minggu tidak bertemu dengan mereka tapi mereka sudah pada pintar-pintar malah bisa dibilang lebih dari aku.
1,5 jam berlalu kita sudah menemukan kesepakatan yang sangat luar biasa. Dan aku selalu harap apapun itu hasilnya nanti, yang terpenting kita telah memberikan kemampuan kita semaksimal mungkin.
“Berarti kayak gini kan hasilnya? Semua sudah setuju, kan?” tanya Gandi
“Ya.” sahut Aryan, Putu, Herna dan aku
“Baiklah, karena kita sudah ketemu hasilnya, gimana kita habiskan makanan  yang kita anggurin?” ajak Westi
“Mmm.. kebiasaan kamu, Est.” kataku
“Emang udah kebiasaan Esti kayak gitu. Tahu gak Cha, selama kamu gak ada di kampus, dia tu selalu makan sesuka hatinya. Coba kalau ada kamu pasti badannya gak seperti ini.” canda Fanny
“Pantes, aku pikir aku salah lihat ternyata bener dugaanku, kan. Kalau udah nyampe di Yogya pasti akan aku atur lagi makananmu, Ti. Kali ini kamu puas-puasin deh makannya karena ntar di kampus kamu akan diet, sediet-dietnya.”
“Makasih, ya Cha. Thank you so much.” balas Westi sambil memelukku
“Apa? Sediet-dietnya? Apaan tu, Cha?” kata Gandi
“Makanya, Ndi, temenan dong ama Icha. Masa gituan gak tahu sih.” balas Hasna
“Heh? Apaan Na?” tanya Yeni
“Gak ada apa-apa….” kata Hasna
“(memotong) Ada kucing yang lewat.” balas Aryan
“Ihh.. apaan sih.”
“Ha ha ha.” Gandi, Jeremy, Putu tertawa terbahak-bahak
“Makanya, Na, ganti kata-kata dong masa kucing selalu lewat sih.” Herna ganggu Hasna
“Kalian ni jangan gituin Hasna dong. Tenang Na, bakal aku belain.” jawabku
“Tapi.. uane piro?” lanjutku
“Ha ha ha.” Jeremy tertawa lagi
“Ihh.. apaan sih Jer, tawa mulu. Bau kali.” kata Hasna
Itulah sedikit obrolan dari aku dan beberapa temanku. Sebenarnya masih banyak cerita yang sering aku dan teman-temanku ceritakan. Kalau mengobrol dengan teman-temanku seperti ini aku teringat pertama kali Stan mengajakku ke rumahnya dan bertemu dengan keluarganya. Mungkin kali ini aku belum bisa melupakannya, tapi aku harus lakukan.
Sehabis mengobrol panjang, kita pun putuskan untuk kembali ke tempat masing-masing dan masih banyak yang mau ke mall dan banyak juga ingin cepat pulang ke Yogya. Aku juga sudah kangen dengan Yogya, jadi aku putuskan setelah 1 minggu di Jakarta, aku akan pulang ke Yogya.
1 minggu berlalu dan semua perlengkapan sudah selesai kumasukkan. Ya, aku sudah siap untuk pulang ke Yogya. Telepon kakakku, Rina, dan Pak Suparman telah dilaksanakan jauh-jauh hari. 

Minggu, 06 Juli 2014

Ceritaku 1

CHAPTER 1

Sedih rasanya bila melihat kebelakang. Kisah yang sangat menyedihkan dan diderita oleh diriku sendiri dimasa yang mana seharusnya aku bahagia bersamanya. Mungkin ini suratan dari Yang Kuasa untuk dua insan yang saling menaruh hati. Inilah kisahku.

Perkenalkan namaku Terisya sering dipanggil Icha. Aku adalah salah satu mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Umurku 19 tahun. Orangtuaku telah meninggal saat aku berumur 17 tahun. Aku salah satu orang yang sama sekali tidak mementingkan yang namanya “PACARAN” karena bagiku pacaran hanya bisa mengganggu pikiran bahkan bisa menimbulkan yang namanya “PIKIRAN NEGATIF” itulah pemikiranku. Karena pacaran bukanlah prioritasku maka hobiku pasti sudah ditebak. Yap, membaca dan belajar adalah hobiku sejak dulu. Bisa dibilang kuper karena keseringan membaca diperpustakaan. Tapi masalah style, jangan ditanya deh. Walau kuper namun styleku tidak sama sekali kuper.

Hari ini mata kuliahku adalah bahasa inggris. Ohh ya aku lupa, di Universitas Gadjah Mada aku mengambil jurusan bahasa dan sastra. Dosenku, Bu Pipit termasuk dosen yang tegas namun bisa diajak kompromi. Beliau tahu jika mahasiswa sekarang sangat berbeda dengan mahasiswa dulu. Suka terlambat, malas tahu adalah contoh mahasiswa masa aku sekarang. Dikelasku, aku adalah satu-satunya murid yang sangat sering mengangkat tangan alias bertanya. Karena itulah, ketua dosenku, Pak Suparman memberikan aku tiket liburan sekaligus belajar ke London.

“Cha, enak banget sih, kamu. Jujur aku iri banget. Bisa gak aku minta dikit otakmu yang cerdas?” gurauan sahabatku, Rina

“Eits, siapa bilang aku cerdas? Aku bukan cerdas. Tapi aku rajin.” jawabku

“Sama aja kali, Cha.”

“Sama apanya? Dari kalimatnya aja beda. CERDAS dan RAJIN, jauh beda deh.” sangggahanku

“Iya deh, yang pinter selalu bener.”

Hanya senyum yang kubalas. Rina adalah satu-satunya sahabat yang mengerti aku. Buktinya saat orangtuaku meninggal, dia yang selalu ada didekatku. Aku dan dia memang telah lama bersahabat. Kita bersahabat sejak duduk di bangku SMP. Bagi dia orangtuaku adalah orangtuanya juga. Sebaliknya juga seperti itu. Saat ini aku dan Rina tinggal bersama di kost-an. Semua cerita cintanya telah capai ku dengarkan.

“Cha, tahu gak cowok yang berada dibelakang kost-an kita minta nomor hpku, lho?” ceritanya dengan heboh

“Cowok yang mana? Setahuku dibelakang kost-an kita yang tinggal adalah keluarganya Mira?” balasku dengan penasaran

“Emang, keluarganya Mira. Cowok itu adalah kakak sepupu dari Mira. Dia baru saja nyelesain kuliahnya di Makassar. Dan yang aku tahu dia sempat diterbangkan ke Austria untuk men-design rumah gitu.”

“Ohh. Cuma gitu doang? Emang ganteng ya ampe-ampe kamunya kegirangan gitu? Dan Austria tu dimana sih? Setahuku Australia bukan Austria?” tanyaku

“Yah, kamunya diceritain cuma bilang ohh atau gak gitu doang. Menurutku sih, dia gak begitu ganteng seperti artis tapi dia tu tinggi, six pack dan bisa dibilang cowok yang diincer-incer tahun ini.”

“Hadeh, hati-hati lho. Cowok gituan bisa aja hanya mempermainkan hati cewek.”

“Alah, darimana kamu tahu? Pacar aja kamu belum punya ampe sekarang. Emang napa sih, Cha kamu belum punya pacar? Atau jangan-jangan kamu itu ya sama aku?”

“Berpikirlah seperti itu terus. Aku tu belum mau punya pacar karena orangtua aku pernah berpesan padaku agar aku sukses dulu baru bisa cari-cari cowok. Udah ah, lebih baik aku maen facebook,  kali aja ada cowok yang mau nge-chat bareng aku.” jawabku sambil mengambil laptop dan modem

“Berkhayal aja kamu, Cha.”

Beberapa menit kemudian, saat facebook aku mainin. Ada satu cowok yang meminta pertemanan. Baru saja aku ingin confirm, cowok tersebut sudah chatting aku terlebih dahulu. Cowok itu bernama Stan Subrata. Agak aneh bila didengar, nama cowok ini.

“Rin, sini deh. Omongan aku tadi terjadi. Baru aja aku buka facebook ada cowok yang langsung chat bareng aku.”

“Mana-mana? Ganteng pa kagak?”

“Sini, lihat dulu deh. Namanya lucu. Stan Subrata.” kataku sambil memperlihatkan wajah dari cowok yang baru saja chatting denganku

“Dia make bahasa apa ke kamu?” tanya dengan penasaran

“Bahasa Indo sih, tapi kok namanya Stan? Lalu di infonya dia pernah belajar di Universitas Mighty di London?” curiga dengan cowok yang baru dikenal

“Coba deh kamu telusuri lewat foto-foto yang ada dikronologinya dan profilnya?”

“Bentar ya aku lihat dulu… Sama semua wajahnya, Rin.”

“Masa sih? Ya mungkin dia keturunan Indo-London?” pikiran yang positif

“Indo-London? Blasteran gitu ya?”

“Yap, betul. Eittt tunggu dulu, kamu kan bakal ke London untuk belajar sekaligus liburan, kan? Gimana kalau kamu nyuruh dia untuk jemput kamu aja?” rencana dari Rina

“Heh? Ngapain aku suruh dia jemput aku? Emang aku siapanya dia? Kalau ngasih saran yang bener dong, Rin.” kebingungan akibat rencana Rina

Awalnya, aku tidak memiliki firasat ataupun hal semacam begitu. Namun lama-kelamaan cowok ini dan aku makin dekat. Melihat aku mulai dekat dengan seorang cowok walaupun melalui facebook, Rina sangat senang. Setiap aku mulai sedih, Rina selalu mengatakan seperti ini “Apa karena Stan?” itulah kata-katanya. Aku sangat senang memiliki sahabat sepertinya, aku telah menganggapnya seperti saudariku satu-satunya karena orangtuaku telah meninggal dan saudari kandungku telah berada di Singapura sebagai executive producer. Dialah yang menjadi inspirasiku agar aku bisa keluar negeri. Dia, saudari kandungku yang bernama Tasya. Aku sangat merindukan dirinya, dia adalah satu-satunya keluargaku yang masih ada sampai hari ini. Rina dan kak Tasya, aku sangat menyayangi mereka. Mereka adalah belahan jiwaku.

Stan, cowok yang baru kukenal dan kali ini dia ingin mengenalkan saudara-saudaranya serta kakak iparnya. Sangat aneh. Aku baru mengenalnya itupun melalui Facebook, dan dia sudah ingin mengenalkanku ke keluarga besarnya.

“Rin, kamu mau dengar kabar bagus gak?” tanya dengan heboh

“Mau-mau. Apaan itu? Tentang Stan? Atau sepepunya Mira?” sangat penasaran

“Tentang … (hpku berbunyi, tanda telepon masuk) sabar ya, aku terima telpon dulu ntar aku lanjutin.”

“Assalamualaikum.” mengangkat telepon yang masuk

“Walaikumsalam, sayangku. Bagaimana kabarmu?” ternyata Tasya, kakakku menelepon yang baru saja menerima kabar dari Pak Suparman

“Baik, kak. Bagaimana kabarnya kakak? Ohh iya tumben nelpon? Ngasih uang ya di rekeningku?” candaku

“Adik kakak ini emang belum berubah ya. Uang mulu yang dipikirin. Emang kakak udah kirim uang di rekeningmu.”

“Yesss.”

“Hmm, kebiasaan. Kakak dengar kamu bakal ke London bulan depan ya? Emang kamu buat apaan ampe dikirim ke London? Ikut dong, sayang.”

“Aku gak buat apa-apa kok, kak. Emang udah kebiasaan Pak ketua berikan hadiah ke aku. Ha ha ha.” jawabku

“Kak Tasya, Icha lagi dekat dengan cowok luar loh.” teriak Rina yang telah mendengar percakapan aku dan kakakku

“Heii.”

“Bener tu, Cha? Kalau emang bener, kakak gak papa kok. Asal kuliahmu tidak terganggu sama sekali, ya sayang.” nasihat dari kakak

“Iya, iya, kak. Aku juga belum kenal betul kok dengan cowok itu.”

“Ya udah, gak papa kok, ntar kalau udah jadian kabarin kakak kali aja jodohmu.” candaan kakak

“Aduh, kakak sama aja dengan Rina.”

“Emang dia orang apa, Cha?”

“Setahuku London. Tapi dia ada darah Indonesianya, kak. Jadi kalau ngobrol masih gampang, lah”

“London? Jauh bener, Cha kamu maen ke sana? Wah, yang liburan bakal seneng nie.” digoda lagi

“Aku kesana juga bukan hanya liburan kok, kak. Aku belajar juga disana. Jadi gak ada waktu untuk berduaan. Ha ha ha.”

“Tu kan udah mulai menuju ke jadian. Selamat ya, sayang. Sukses selalu dan selalu inget pesan almarhumah mama dan almarhum papa, ya. Udah dulu ya, kakak ada acara lagi, nie. Ntar kalau ada kesempatan, insyallah sebelum kamu pergi ke London. Kakak bakal ke Yogya. Oke.”

“Okelah ditunggu hadiahnya juga ya, kak.”

“Iya sayang, wassalamualaikum. Makasih Rina udah ngasih infonya.”

“Sama-sama kak, wassalam.” teriak lagi dari Rina

“Wassalam.” jawabku

Begitulah percakapan aku, kakakku serta Rina, sahabatku. Tiga kali dalam seminggu dan saat malam hari adalah waktu yang tepat untuk kakakku menelpon. Begitulah executive producer yang sangat sibuk. Tapi aku sangat bangga pada kakakku. Dia bisa membagi waktunya untuk keluarganya dan aku. Mungkin semasa kecil aku ingin sekali menjadi dokter, presiden dan segala macamnya namun sekarang aku ingin menjadi seperti kakakku. Sukses diusia muda dan memiliki keluarga yang selalu mendukungnya.

“Ohh ya, Cha. Tadi kamu pengen cerita apaan?” penasaran dengan ceritaku yang terputus karena aku menerima telepon dari kakak

“Iya, aku pengen cerita nie tentang Stan.”

“Ada apa lagi dengan Stan? Dia buat kamu sedih? Atau dia punya kekasih? Yaaahh, kasian banget kamu.”

“Belom juga di ceritain, udah ngasal bilang. Stan pengen ngenalin aku ke keluarga besarnya. Padahal, kan dia dan aku baru saja kenalan. Kira-kira dan menurutmu ngapain dia mau kenalin aku ke keluarga besarnya, ya?” meminta saran dari Rina

“Mungkin dia pengen langsung nikah ma kamu? Ngomong-ngomong kita bicarin Stan tapi aku belum tahu dengan agamanya. Agamanya apa?” saran asal-asalan dari Rina

“Nikah dari Jepang? Gak mungkin lah dia mau nikah ma aku? Baru kenalan juga. Agamanya? Dia beragama Islam kok.”

“Ya, kali aja, kan. Kalau dia udah cukup umur. Why not? Apalagi dia beragama Islam, cocok banget deh dengan kamu.”

“Tu kan ngasal lagi omongannya.”

Rina, sahabatku yang ngomongnya selalu ngasal. Selalu buat aku tersenyum dan tertawa tiap harinya. Aku merasa tidak sepi bila tidak memilki pacar karena ada sahabatku yang satu ini.

“Ehh, gimana kamu dan sepupunya Mira itu? Siapa namanya? Aku lupa?”

“Aku ma dia? Baik-baik aja kok.”

“Bukan itu maksudku. Maksudku, bagaimana kelanjutannya? Kamu ma dia pacaran atau masih gebetan?”

“Ohh itu. Iya emang kita udah jadian dari 2 hari yang lalu. Makanya kalau info kayak gini ditelusuri, dong. Kuper kok masih dipelihara.” jawab dengan serius namun tetap santai

“Emang aku pikirin, aku yang kuper napa kamu yang ribet.” balasku dengan menjulurkan lidah

“Iya deh, yang pinter dan kuper.”

Pagi ini di kuliahku diadakan acara seminar untuk adik tingkatku. Aku dan Rina kebagian menjadi panitia. Acara yang diselenggarakan oleh Pak Suparman ditujukan agar mahasiswa yang baru di Universitas Gadjah Mada lebih peduli pada kuliah baru atau tempat baru menimba ilmu.

Jam 12.00 tepat, agendanya adalah makan siang bersama walikota dari Jakarta. Semuanya pada makan siang namun aku dan Rina main facebook. Semenjak aku kenal Stan, aku keseringan membuka facebook. Rina pun bingung aku sudah berubah meskipun masih sedikit kuper namun dia turut bahagia karena telah menemukan seorang cowok.

“Hai.” chat yang diawali oleh Stan

“Hai, sekarang disana jam berapa? Dan kamu sedang ngapain?”

“Disini jam 1 malam. Aku hanya chatting sama kamu dan ngobrol dikit dengan kakak iparku.”

“Kakak iparmu? Siapa namanya? Cewek atau cowok?”

“Cewek lah, namanya Catherina. Dikeluargaku hanya ada 4 orang laki-laki, adikku, aku, kakakku dan bapakku.”

“Ngomong-ngomong, aku belum tahu siapa yang berasal dari Indonesia dan siapa yang dari London? Itupun kalau kamu mau berbagi cerita sama aku.”

“Maksudmu orangtua aku atau orang lain?”

“Orangtua kamu lah.”

“Ohh, itu. Ibu aku berasal dari Indonesia dan papaku berasal dari London. Aku pernah tinggal di Indonesia selama lima tahun loh.”

“Selama lima tahun? Kapan tu? Lama banget, pantes kamu bisa bahasa Indonesia, malah lancar banget gitu.”

“Saat aku berada di Indonesia umurku menginjak 10 tahun. Aku berada di Jakarta saat di Indonesia. Aku sangat senang bila tinggal disana. Karena disana orangnya pada peduli, tidak kayak di London. Di London orang-orangnya pada kaya-kaya sih, tapi pedulinya sedikit banget.”

“Ohh, gitu ya disana. Aku bakal ke London loh.”

“Kamu mau ke London? Ngapain?”

“Aku diberi tiket ke London untuk belajar sekaligus liburan. Bisa, kan kita ketemu?”

“Sangat bisa dong dear. Ooopzz I’m so sorry.”

“Gak papa kok.”

“Kalau boleh tahu kamu sudah punya pacar gak?”

“Pacar? Belum sama sekali.”

“Maksud kamu belum sama sekali? Kamu belum pernah berpacaran?”

“Ya, bisa dibilang begitu sih. Jujur aku termasuk kuper, hobi saja membaca buku dan belajar.”

“Kuper? Masa sih? Foto kamu gak kuper kok?”

“Yah gitu deh, kalau masalah pacaran aku kuper  namun masalah style jangan ditanya deh. Aku tidak kuper.”

“Ohh, gitu ya. Maaf aku harus tidur sekarang, ya. Good night dear.”

“Good night.”

Saatnya kembali ke acara seminar. Rina yang selalu menemani aku, sekarang dia sedang sibuk mondar-mandir untuk mengawasi adik tingkat. Kasihan dia, untung ada aku jadi aku bisa membantu dia. Itulah arti sahabat yang sebenarnya. Saat sahabat sedang susah, seharusnya kita saling membantu.

Beberapa menit telah berlalu dan acara seminar pun telah selesai sedetik yang lalu. Aku dan Rina pun langsung kembali ke kost-an kita. Saat berjalan menuju kost-an langkah kita terhenti karena ada seorang lelaki yang menahan Rina. Aku tidak mengerti mengapa lelaki tersebut menahan Rina.

Ternyata lelaki itu adalah Marcel, sepupu dari Mira dan juga pacar dari Rina. Agar mereka lebih nyaman untuk mengobrol, aku langsung pergi dari hadapan mereka berdua. Aku hanya mendengarkan percakapan mereka lewat jendela yang tertutupi horden. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi menurutku. Rina menyayangi Marcel dan Marcel mencintai Rina. Aku harap Marcel adalah belahan jiwa Rina, tapi kalau Rina sudah menikah aku dengan siapa? Sudahlah yang penting Rina sudah memiliki pendamping.

Alarm berbunyi, matahari telah terbit dari timur artinya pagi telah menyambutku dan menyuruhku untuk segera ke kuliah. Pagi ini aku melakukan aktivitasku seperti biasa. Yang berbeda hanyalah, dulu aku berangkat bareng Rina namun sekarang dia pergi bareng Marcel. Nasibku yang masih menjomblo sampai saat ini. Tapi aku senang bila sahabatku juga senang.

Sesampainya di kampus aku dipanggil oleh Pak Ketua, Pak Suparman. Sempat bingung sih, karena aku tidak melakukan kesalahan apapun. Saat bertemu Pak Suparman, aku langsung disuruh duduk di kursi yang berada di depanku.

“Pagi, Terisya. Bagaimana dengan mata kuliahmu? Apa ada masalah?”

“Pagi, Pak. Setahu saya, saya tidak memiliki masalah apapun dengan mata kuliah saya. Kalau boleh tahu saya dipanggil untuk apa ya, Pak?”

“Begini, kamu tahu kan bahwa seminggu lagi kamu akan diberangkatkan ke London?”

“Seminggu lagi? Saya pikir masih dua minggu lagi, Pak?”

“Mungkin karena kamu keseringan membaca, ya kalau kamu akan pergi ke London pada tanggal 26 November? Dan 26 November itu seminggu lagi.”

“(hanya bisa tersenyum) Maaf, Pak. Soalnya saya tidak pikir ke situnya.”

“Iya, bapak mengerti. Karena seminggu lagi kamu akan pergi, bapak ingin kamu ikut ke dalam training tour. Nanti disana kamu bisa mengerti tentang dunia di luar negeri bagaimana? Itupun kalau kamu mau, tapi kalau kamu tidak mau. Bapak tidak apa-apa, bagaimana?”

Training tour? Kegiatan tersebut selama berapa hari, Pak?”

“Hanya tiga hari untuk kamu karena bapak tahu kalau kamu untuk bahasa sudah complete. Dan tiga hari itu dilaksanakan tiga hari sebelum kamu berangkat ke sana. Bagaimana?”

“Oke, pak. Tapi pendaftarannya bayar berapa, pak?”

“Masalah pembayaran bapak sudah tanggung semua. Jadi besok bapak akan kasih tahu perkembangannya seperti apa, ya.”

“(hanya tersenyum namun dalam hati mengatakan yes) Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.”

“Oh, iya. Persiapkan dirimu dengan baik, ya.”

“Siap, pak.”

Sehabis keluar dari ruangan Pak Suparman hatiku sangat senang dan sangat sangat senang. Orang pertama yang kucari adalah sahabatku, Rina. Saat aku menemui Rina ditaman, aku melihatnya sedang tertunduk dengan tangan yang menutupi wajahnya. Sempat bingung ada apa, namun langsung kutanyakan padanya.

“Hey, Rin.”

“…” tidak menjawab salamku

“Ada apa denganmu, Rin? Kamu mau aku …”

“Cha ..” langsung memelukku dengan tangisan yang ada dipipinya

Rina pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata tentang percintaannya yang gagal yang ketiga kalinya. Marcel memutuskan untuk meminang seorang cewek dan orang itu bukan Rina, tanpa berkata apapun beberapa menit yang lalu Marcel langsung memutuskan Rina. Padahal aku berharap Rina dan Marcel akan menjadi pasangan suami istri. Itulah cinta, tak ada yang pernah tahu tentang itu, saat keduanya telah setia ternyata bukan jodoh.

“Tenanglah, ada aku. Biarkan semuanya lenyap dimakan waktu. Ubah hidupmu.” kataku yang masih dipeluknya

“Makasih ya, Cha. Hanya kamu yang bisa kujadikan sandaran saat ini.”

“Sama-sama. Karena hari ini kamu telah membasahi bajuku, sekarang kamu harus traktir aku ice cream. Oke? Sudah hapus air matamu. Malu tahu, udah gede masih nangis.” sambil menarik tangan Rina

“Sip, lah.” jawabnya sambil menghapus air matanya

Sesampainya dikantin, aku dibelikan ice cream oleh Rina. Padahal saat itu aku sedang senang namun kusimpan cerita bahagiaku untuk diceritakan di kost-an saja. Selama dikantin Rina banyak bercerita tentang Marcel, namun kubiarkan saja agar apapun yang ada dipikirannya saat itu terlepas dan diapun akan lega. 10 menit kami dikantin.

“Udah ah, masuk ke kelas yuk!” ajakanku

“Siap,bos. Kali ini aku akan ikuti perintah.”

“(menarik keatas alis kanan)”

2 jam berlalu dan berakhirnya mata kuliah untuk hari ini. Sesampainya kita dikompleks, ada Marcel yang berada tepat disamping kost-an kita namun Rina belum menyadarinya. Aku hanya terdiam dan ingin mengetahui reaksi dari Rina. Saat Rina mulai menyadari dan berpapasan dengan Marcel, dia hanya diam sambil menundukkan kepalanya dan berlalu. Sedangkan, Marcel melihatnya seperti masih memiliki perasaan yang mendalam. Aku tak tahu sebenarnya yang terjadi. Saat masuk kedalam kost-an, Rina langsung masuk ke kamar mandi dan pecahlah air matanya sambil teriak.

“Napa, Cel? Aku salah apa sama kamu sampai kamu memutuskan begitu saja?” itulah katanya sambil menangis

“Hmm..(dalam hati aku berkata, kasihan dia)”

Beberapa menit di kamar mandi dan menangis, hal itu mencemaskan aku. Hanya takut dia berbuat sesuatu yang membahayakannya.

“Rin, kamu tidak apa-apa? Keluarlah dan ceritakan apapun yang ingin kamu ceritakan.” teriakku

“Aku sudah tidak apa-apa kok.” sambil membuka pintu kamar mandi

“Kamu yakin?”

“Iya. Kan, kamu yang bilang sendiri harus ubah hidupku.”

“Baguslah. (walaupun kutahu dia belum bisa berhenti untuk menangis)”

Siang hari telah tiba, angin datang cukup banyak. Dan sangat asik bila tidur. Berdering, handphoneku berbunyi dan tertulis kakak. Ternyata kakakku menelpon untuk menjemputnya di bandara Adi Sujipto karena dia baru saja mendarat di Yogya. Saat itu juga aku langsung mandi dan memakai pakaian. Sempat mengajak Rina untuk ikut bersamaku, namun dia menolak hanya karena takut melihat wajahnya Marcel. Aku cukup mengerti. Jadinya aku menjemput kakakku sendiri.

Setibanya di bandara, aku belum melihat kakakku. Lewat sms, kakakku mengatakan bahwa pesawatnya baru saja mendarat. Terpaksa menunggu lama dimobil. 30 menit berlalu, kakakku baru muncul.

“Kakak!” teriakku

“Ohh, adikku sayangku. Bagaimana kabarmu? Kamu tambah cantik dibanding kakakmu sendiri.”

“Baik, kak. Kakak bisa saja becandanya. Ntar kalau udah nyampe di kost-anku, kakak jangan terlalu ganggu Rina, ya.”

“Emang ada apa dengan Rina? Dia lagi marah atau sedih?”

“Baru saja dia putus dari pacarnya yang dia sayangi.”

“Ohh kasihan dia. Ni..” sambil menyodorkan cokelat

“Yeaahhh, cokelat. Dibeli dari Singapura?”

“Siapa yang bilang? Kakak beli diatas pesawat kok. (sambil tersenyum)”

“Alamak, tapi ada hadiah apa gitu didalam koper, kan? Pasti ada, kan?” sangat ingin oleh-oleh dari Singapura

“Iya, ya. Apa sih yang gak buat adiknya kakak yang satu ini (sambil menarik hidungku)”

“Tambah mancung lah diriku ini. Ohh iya, mana si kecil yang keren itu?” menanyakan anak dari kakakku yang sangat tampan

“Dia harus ke sekolah dan dia tidak bisa izin walaupun seminggu.”

“Emang sekarang dia kelas berapa?”

“Sekarang dia udah kelas 3 SD. Sekarang dia sudah bisa memainkan piano. Tahu lagunya Home yang dibawakan ma Westlife? Dia sudah bisa mainin not-notnya. Pinter, kan?”

“Iya deh, yang punya anak tampan dan pinter.”

“He he he.”

Sesampainya di kost-an, kakak langsung meminta makanan khas Indonesia yaitu ikan bakar. Dan langsung mengajakku untuk malam ini makan diluar bersamanya. Jadi malam ini, aku dan Rina ditraktir oleh kakakku. Betapa senang hatiku, seperti keluargaku telah berkumpul disini.

“Kalian mau makan apa aja?”

“Kepiting saus padang.. Ayam bakar..” jawab aku dan Rina

“Sayurnya tumis kangkung aja, ya?”

“Oke.”

“Minum apa kalau kamu, Cha?

“Jus pear.”

“Kalau kamu, Rin?”

“Aku mau minum Jus jeruk aja, kak.”

“Mas, kalau aku teh anget aja, ya.” kata kakakku pada pelayan laki-laki

“Baik, bu.” jawab pelayan tersebut

Selama kita menunggu makanan serta minuman datang, kita hanya berbincang-bincang.

“Gimana dengan kuliah kalian? Ada cerita apa nie tentang kuliah kalian. Kakak pengen denger.”

“Kuliah? Icha lebih pinter, kak. Makanya aku pengen minta otaknya dikit doing tapi dianya tidak mau kasih, kak.” canda Rina

“Ohh, adik kakak ini pinter, ya? Pinter pacaran atau masalah belajar?” sambil mengelus kepalaku

“Pinter dalam belajar lah, kak. Buktinya aku bakal ke London pada tanggal 26.”

“Cha, aku boleh ikut gak? Kalau kamu pergi jauh aku sendiri, dong. Mana males lihat cowok yang berada dibelakang kost-an kita.”

“Gimana cara bayar tiketnya? Tiket pesawat aja yang urus pak ketua.”

“Rina mau pergi keluar negeri? Kalau mau ntar pergi ke Singapura bareng kakak aja. Sekalian kamu lihat-lihat disana. Mau?” kakakku menawarkan liburan gratis kepada Rina

“Masa sih, kak? Apa aku gak ngerepotin kakak? Kakak kan udah berkeluarga?”

“Kok adiknya ndiri gak diajak?” sambil cemberut

“Adiknya kakak ini kan udah pinter jadi kalau mau keluar negeri tinggal belajar yang baik baru bisa deh keliling dunia. Kalau Rina, kan agak gimana gitu. Becanda, Rin.”

“He he he, bener juga tu Cha. Kan kamunya udah sering keluar negeri dengan kepintaranmu, kalau aku? Boro-boro deh mau keluar negeri, ke daerah lain aja belum pernah.”

“Iya, iya deh.”

“Gimana, Rin? Mau gak, kamu bisa ikut kakak lihat-lihat acara yang kakak produserin, kali aja kamu ada bakat dibidang itu. Dan Sam bakal senang kalau ada teman mainnya.”

“Sam? Siapa tu, kak? Aku belum pernah kenal nama itu.”

“Sam itu anaknya kakakku, ganteng loh. Mungkin bisa mengusir kejenuhanmu dengan Mr. M. Upppss salah ngomong.”

“Ganteng? Boleh boleh. Boleh kan kak, aku jadi pacarnya? Dia belum punya pacar, kan kak?” tanya Rina yang ingin tahu

“Sam masih kecil umurnya baru 10 tahun. Masa kamu mau dengan yang masih kecil gitu. Ha ha ha. Kamu aneh, Rin.” jawab kakakku sambil tertawa terbahak-bahak

“Hah? 10 tahun? Gak jadi deh.(lalu tersenyum)” kaget namun malu juga

“Makanya ditelusuri dulu, kalau mau dijadikan pacar.”

“Yah, aku kena deh!”

Makananpun datang. “Sudah ah ngomongnya, makan dulu baru lanjut ceritanya.”

Saat makan malam berlangsung aku memainkan handphone untuk buka facebook. Stan emang sudah menghipnotisku, dulu saat makan malam aku tidak pernah memegang handphone, sama sekali tak pernah namun kali ini aku memegangnya.

Benar saja, saat aku membuka facebookku.  Satu pesan tertera di layar kaca handphoneku. Ternyata Stan ingin mengetahui nomor hpku. Sempat takut diapa-apain sih tapi aku beranikan diri untuk memberikan nomor hpku. Sehabis makan malam, kami belum beranjak dari tempat duduk masing-masing karena terlalu kenyang, saat itulah aku cerita pada kakakku dan memperlihatkan fotonya. Saat memperlihatkan fotonya, nomor asing masuk. Tak pernah terlintas dalam benakku bahwa Stan akan meneleponku. Aku menjawabnya dan tentu saja kakakku dan Rina nguping. Jadi aku loudspeakerin hpku agar mereka tidak kesulitan untuk mendengarnya. Stan hanya membicarakan hal-hal yang klasik. Dia menanyakan kapan aku berangkat ke London dan di Indonesia sekarang jam berapa. Sejak mulai itulah, aku tidak sering lagi membuka facebookku karena sekarang aku sudah mengetahui nomor hp dari Stan dan sebaliknya begitu. Kami keseringan sms dibanding untuk telepon-teleponan karena kesibukan masing-masing.

Masa training tour dimulai, sempat gugup karena yang terlintas adalah takut tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh orang Inggris itu. Namun setiap kali bertemu aku mencoba untuk menyapa, menanyakan hal-hal yang belum jelas atau yang tak ku ketahui. Hari pertama aku gugup, hari kedua mulai santai dan hari ketiga aku sangat santai.

Hari yang sangat ditunggu-tunggu olehku dan Rina karena pada hari senin, tanggal 26 Rinapun akan pergi keluar negeri. Bukan bersamaku namun bersama kakakku ke Singapura. Aku senang ternyata keluarga peduli juga dengan sahabatku, sama halnya orangtua Rina yang peduli sekali denganku.

Hari minggu, aku dan Rina yang akan berangkat besok sangat sibuk menyiapkan segala macam perlengkapan selama diluar nanti. Hingga makananpun kita perhatikan, takutnya tidak berselera dengan makanan diluar yang telah memiliki cita rasa berbeda dari Indonesia. Kakakku yang telah lama tinggal diluar tidak terlalu ribet, malah dia menemani kami untuk membeli segala peralatan yang dibutuhkan dan juga memberikan nasihat-nasihat untukku yang akan pergi jauh darinya.

“Kamu nanti disana jangan keseringan keluar dari kamar, ya. Kalau bertemu dengan orang asing atau yang baru kamu kenal disana jangan terlalu dipedulikan, ya. Kamu tahu kan kalau disana banyak sekali pencurian dan pencurinya buka seperti di Indonesia. Pencuri-pencuri disana gak punya hati. Ingat, ya?” nasihat kakak

“Iya iya kak, aku ngerti kok. Udah yuk tidur. Besok aku gak sabar.”

“Ya udah.”

Jam 5 pagi aku terbangun, aku memegang pipiku seperti ada air namun apakah itu? Ternyata aku tidur dengan iler yang telah menyebar. Maklumlah, lelah yang menderaku sangatlah parah hingga aku tertidur tanpa sadar.

Jam 6.30 aku membangunkan kakak dan Rina agar segera mandi dan siap-siap. Saat kakakku telah terbangun, dia langsung tersenyum padaku. Sempat bingung. Kakakku berkata padaku bahwa tadi malam, tepat jam 11 malam aku mengigau tak jelas dan aku menyebut nama Stan. Sempat tak percaya, Rina yang mendengarnya pun langsung tertawa dan mengatakan apa yang dikatakan kakakku itu ternyata beneran terjadi. Saat aku mengigau, Rina terbangun dan kaget karena suaraku yang menyebut nama Stan sangatlah mengganggunya. Setelah mendengar cerita itu, aku masih bingung karena aku belum pernah seperti itu apalagi menyebut-nyebut nama seorang lelaki yang baru kukenal.

“Cha, kayaknya kamu sudah jatuh cinta sama Stan, deh.” kata Rina yang baru saja keluar dari kamar mandi

“Ehh kamu ngasal aja kalau bicara. Aku belum jatuh cinta tapi aku gak tahu nanti saat di London aku bakal jatuh cinta pa kagak.” kataku sambil membereskan barang-barang

“Nah, itu apaan di London. Jangan main-main disana, belajar yang baik tahu.” kata kakakku yang mendengar sedikit pembicaraan aku dan Rina

“Ihh, kakak gitu. Kan suami kakak dari luar juga. Kali aja ntar suamiku dari luar negeri juga.”

Beberapa menit setelah percakapan berakhir dan koper-koper telah ditaruh kebagasi, handphoneku bergetar. Saatku lihat ternyata sms dari Stan.

“Safe flight, dear.” smsnya

“Aku belum berangkat, aku masih dirumah, kok.” Balasku

“Ohh. Mau aku jemput? Aku sedang tak ada pekerjaan dikantor nie.”

“Kantor? Kamu sudah bekerja?”

“Iya, maaf aku baru memberitahukan kamu. Aku bekerja disalah satu perusahaan di London sebagai direktur.”

“Wow, kamu direktur? Pasti pinter, kan?”

“Gak juga, kok. Mau gak aku jemput?”

“Kalau boleh, aku mau, sih.”

“Siaplah. “

“Baiklah, kalau aku sudah di bandara London. Aku sms kamu, ya. (mengetik sms sambil tersenyum karena bahagia)”

“Okay, dear. I’m waiting for you. Safe flight and welcome to London.”

Karena sudah kegirangan aku pun memberitahu kakak dan Rina. Kakakku hanya menasihatiku agar hati-hati terhadap orang yang baru dikenal apalagi hanya teman chat di facebook. Aku sebagai adiknya selalu menuruti apa kata kakakku karena hanya dialah yang aku punya.

Sehabis semua barang-barang yang akan kami bawa sudah masuk kedalam bagasi mobil, kamipun berangkat karena takut ketinggalan pesawat seperti film di Home Alone. Selama perjalanan ke bandara Adi Sujipto, aku, kakak dan Rina bernyanyi, cerita dan bercanda. Kami semua senang, saat ingin masuk ke ruang tunggu aku berpisah dengan kakak dan Rina karena pesawat yang akan kutumpangi berbeda dengan mereka.

“Adik sayangku, jangan nakal-nakal, ya. Kakak tidak nyangka kamu sudah bisa besar dan bakal berpisah lagi dengan kakak.” sambil memelukku erat dan air mata yang ada dipipi pun jatuh tak terhingga

“Kakak.. Jangan nagis dong, aku ikutan nangis nih!” balasku sambil menangis dan memeluk kakak dengan eratnya

“Cha, I love you so much. You are my best friend and my best sister I ever have.” tangispun keluar juga dari Rina

“Tumben kamu nangis. Aku bakal balik, kok. I love you to, my sister.” kataku sambil memeluk erat Rina yang menangis juga

“Bye, semua. Aku duluan. Stan menungguku di Heathrow, London. (sambil tersenyum dan mengusap air mata yang jatuh)”

“Hati-hati, sayangku.” kata kakak

“Bye, sist. Hati-hati, ya. Dan salam buat Stan.” kata Rina

Aku masih ingat betapa mengharukan hari itu. Aku harus pisah cukup lama dari kedua orang yang sangat kusayangi. Namun aku pergi pun untuk menambah ilmu dan sedikit refreshing  sejenak dari kepenatan kuliahku.

Saat berada diruang tunggu, aku mendengarkan musik sambil membaca novel karangan Franz Livorpi yang sangat terkenal yaitu Saat Cintaku Hilang. Sangat sedih. Ditiketku aku akan berangkat dua jam lagi. Selama menunggu aku kepikiran dengan Stan. Aku masih belum percaya kalau dia bakal menjemputku di bandara, dan akupun teringat dengan nasihat kakakku yang mengatakan bahwa aku harus berhati-hati dengan orang asing ataupun yang beru aku kenal. Tapi sudahlah, berpikir positif akan lebih baik supaya tidak menjadi tua sebelum waktunya.

Satu setengah jam telah berlalu. Aku mendengar pesawat yang kutumpangi telah menunggu. Akupun segera berdiri dari tempat aku duduk dan langsung memasuki pesawat yang akan membawaku ke tempat belajarku. Masih gugup karena ini pengalaman pertamaku di London.

Pertama kali yang kulakukan saat telah duduk didalam pesawat adalah sms kakak, Rina dan Stan. Memberitahukan kepada mereka bahwa aku sudah didalam pesawat dan akan terbang menuju bandara Heathrow, London.

Selama pesawat lepas landas, yang aku lakukan adalah lanjut membaca novel yang kubawa dan juga tidak melewati pemandangan yang bisa kulihat lewat kaca pesawat. Dari pagi menuju siang, siang ke sore dan malampun menyambut. Makan malam dipesawat tanpa ditemani Rina ataupun kakak rasanya sepi.

Pagi kembali menyapa, aku sempat bingung kapan aku sampai ke London? Ternyata siang tepat jam 2.30 waktu Indonesia. Ternyata Indonesia dan London beda 9 jam lebih lama. Jadi sekarang di London 5.30 sore. Saat pertama kali aku turun dari pesawat, aku langsung menghubungi  Stan. Stan pun datang menghampiriku.

“Assalamualaikum. (sambil tersenyum manis)”

“Walaikumsalam, kamu? (balas senyum juga walaupun belum tahu siapa orang itu)”

“Aku Stan, kamu Terisya, kan?”

“Iya.”

“Sini, aku bawakan barang-barangmu. Bagaimana keadaanmu selama dipesawat?”

“Baik-baik saja. Maaf ya aku lama sampai disini.”

“Tidak mengapa untukku, kan bukan kamu yang mengendarai pesawatnya. Kamu mau diantar kemana?”

“Aku akan menginap di Hotel 41.” kataku yang melihat pemandangan kota London dari kaca mobil

“Hotel 41? Kamu yakin?”

“Iya, aku yakin. Memang ada yang salah?”

“Tidak, sih. Hotel 41 adalah salah satu hotel yang bayar nginapnya bisa dibilang sangat mahal. Kamu dibayarkan dari Indonesia?”

“Mmm..iya.”

“Lalu berapa lama kamu disini?”

“Selama tiga minggu. Dua minggu untuk belajar dan satu minggunya lagi untuk aku liburan.”

“Kamu sangat pintar, ya? Sampai-sampai kamu diberi hadiah yang sangat istimewa.”

“Tidak juga, kok.”

Selama beberapa menit kami berbincang. Tidak terasa aku telah sampai di tempatku beristirahat. Ternyata aku sudah ditunggu dari Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Inggris. Aku sempat berbincang sebentar dengan beliau dan aku juga memperkenalkan Stan kepada beliau. Aku tidak menyangka, aku layaknya putri yang berada di singgahsananya.

Agendaku di London telah terjadwal didalam buku yang diberikan oleh salah satu staff KBRI. Menurut agenda, malam ini aku akan makan malam diluar bersama-sama orang-orang Indonesia yang berada di London. Esok harinya, aku mulai dengan tujuan awalku yaitu belajar dari satu universitas ke universitas lainnya dan memberikan pendapat. Aku juga berkesempatan untuk bisa menjadi mahasiswa di London.

Universitas pertama yang kukunjungi adalah Universitas Stanford. Empat hari kuhabiskan untuk menjadi mahasiswa Stanford. Disana fasilitasnya sangat bagus, akupun dengan cepat mendapatkan beberapa teman seperti Michelle, Grout, Hans dan ada juga warga Indonesia yang menjadi mahasiswa disana, namanya ialah Satria. Namun disana, mahasiswa yang mayoritas beragama Kristen masih menganggap bahwa Islam adalah jahat dan tidak patut. Aku yang beragama islam pun memberikan penjelasan sedikit tentang arti sebenarnya Islam tersebut.

Sehabis dari Stanford, aku dipindahkan ke Universitas Jordan. Disana aku menjadi mahasiswa selama lima hari. Yang aku suka di universitas ini adalah semuanya sangat menyambut baik setiap siapapun yang ada disana. Semuanya ramah tanpa adanya deskriminasi. Aku berjumpa dengan orang dari Afrika asli yang beragama Islam, Kessy. Aku sempat mengobrol dengannya dan meminta pendapatnya tentang Universitas Jordan. Dan apa yang kupikirkan sama dengan pemikirannya juga. Mungkin jika aku berada disini kuliah yang akan kutuju adalah universitas ini, Universitas Jordan.

Agendaku untuk mendatangi universitas yang berada di London telah selesai. Aku adalah seseorang yang tidak ingin diganggu selama aku fokus pada suatu pekerjaan karena itulah hpku aku non-aktifkan untuk sementara. Dan saat ku buka, aku telah menduganya. Sms sangat banyak dari Rina, kakak dan Stan. Rina dan kakakku ternyata telah sampai di Singapura. Dan kabar yang kuterima Rina telah akrab dengan adik kerenku, Sammy. Sempat sedih tapi senang juga. Lalu kakakku berencana mendekatkan Rina dengan salah seeorang temannya yang dia kenal baik. Saat mendengar rencana kakakku, aku hanya berharap itu yang terbaik untuk Rina.

Dilain sms ada Stan, yang ternyata mengajakku untuk dinner saat malam minggu waktu London. Untuk mengenalnya lebih jauh akupun meng-iyakan ajakannya dan kebetulan agendaku yang dijadwalkan saat malam minggu tidak ada. Sms lainnya ialah, saat dinner ada keluarga besarnya. Sempat ngerasa bahwa Stan benar-benar ingin mengenalkanku kepada keluarganya.

Satu hari setelah aku berkunjung ke Universitas Jordan, bapak Thomas mengundangku untuk menghadiri jamuan makan malam. Ternyata disana sudah banyak undangan. Disambut layaknya ratu, aku benar-benar merasa aku sedang bermimpi sambil membuka mata. Jamuan tersebut sekaligus menutup agendaku.

Esoknya adalah hari sabtu, malamnya adalah malam minggu, aku tak sabar menemui keluarga besar dari Stan Subrata atau bisa dibilang keluarga Subrata. Aku sempat memberitahukan kakakku. Kakakku sempat cemas namun kuyakinkan untuk tidak usah terlalu khawatir karena ku yakin keluarga Subrata bukanlah keluarga yang jahat atau apapun itu. Kakak dan Rina sangat senang untukku, aku yang mendengarnya sangat lega karena mereka tidak khawatir lagi denganku.

Waktu telah menunjukkan 5.00 sore waktu London, tidak disangka  Stan menelponku dan memintaku untuk berpakaian yang bagus dan turun ke parkiran. Bingung adalah kata yang pertama kali kukatakan. Saat aku sudah turun ke parkiran, aku melihat Stan yang berjas dan memegang kotak kecil berwarna merah. Kalian pasti telah bisa menebaknya.

Sesampainya dirumah Stan, aku disambut dengan begitu hangat. Aku duduk di sofa dengan kakak iparnya dan ibunya. Aku sempat gugup namun coba untuk tenang, ditengah-tengah mereka, aku seperti diinterogasi. Layaknya orang yang sangat ingin tahu.

“Hello, Ter..” salam Catherina

“Terisya. Assalamualaikum.” balasku dengan tersenyum

“Ohh nama kamu Terisya? Walaikumsalam.” sahut ibunya

“Iya, tante. Tante bisa menggunakan bahasa Indonesia?”

“Iya, dong. Itu wajib didalam keluarga Subrata. Stan telah banyak menceritakan kamu ke tante.”

“Ma, maaf ku potong. Aku ingin mengungkap perasaanku ke Terisya, ya.” ungkap Stan memotong pembicaraan aku dan ibunya

“Tolong semuanya bisa ke sini semua. Dan tolong untuk dengarkan isi hatiku. Aku, Stan Subrata, anak kedua dari tiga bersaudara. Mungkin ini akan mengejutkan Terisya, cewek yang kukenal lewat facebook. Meski ini singkat, namun aku percaya aku dan Terisya bisa lewati. Terisya, aku ingin kamu menjadi orang yang selalu dan selalu disampingku, hingga maut yang memisahkan kita.” lanjutnya

“(masih bingung)”

“Will you marry me?”

“(tersenyum)..”

“I will.. I will.. I will..” teriak saudara-saudara Stan dengan serempak

“Mmm…yes, I will. (tersenyum bahagia)” jawabku

“Thank you, dear.”

“But wait, aku harus memberitahukan hal ini kepada kakak dan sahabatku. Bolehkah aku menelpon mereka sekarang?”

“Yes, of course.” ucap Mrs. Subrata dengan raut muka bergembira

“(sambil mencari nomor hp kakak, aku pergi sedikit jauh dari keluarga Stan karena kebahagiaan yang dirasakan keluarganya membuat semua anggota keluarga ucapkan selamat)”

“Congratulation, Stan.” ucap satu persatu keluarganya

“Tiiiitttt..Tiiitttttt..” menelpon kakak

“Assalamualaikum, Cha?” jawab kakak

“Walaikumsalam, kak. Aku sekarang berada di rumahnya Stan. Dan..” sambil loudspeakerin hp agar keluarga Stan mendengar juga

“Ngapain kamu disana? Ayo bukannya belajar?” Tanya kakak dengan curiga

“Ini aku baru saja mau kasih tahu tapi kakak potong. Pembelajaranku untuk kunjungi universtas-universitas sudah selesai, sekarang aku tinggal liburan aja, kak. Aku sudah dilamar Stan, kak. Apa kakak setuju?”

“Apa? Kamu dilamar? Kapan?”

“Sekarang dan dirumahnya Stan. Sekarang keluarganya pun mendengar percakapan kita, kak.”

“Hallo, kakaknya Terisya. Saya dengan ibu dari Stan Subrata. Saya mewakili bapaknya Stan yang sedang kerja di Singapur, ingin nak Terisya bisa menjadi salah satu keluarga Subrata. Apakah..” ibu dari Stan ingin menjelaskan kepada kakakku

“Tasya bu, namanya.” kataku dengan pelan

“Iya, apakah nak Tasya ni setuju dengan lamaran ini. Karena Stan telah banyak cerita tentang Terisya ini. Lalu dia juga bilang ingin mengakhiri masa mudanya dengan Terisya hingga maut yang memisahkan mereka, itulah permintaan Stan. Jadi, saya sebagai ibunya hanya ingin yang terbaik untuk anak saya begitu. Bagaimana?”

“Begini, bu. Saya juga dulu dilamar sama persis seperti Icha ini. Saya sebagai kakaknya kan tidak bisa memaksa Icha untuk tidak atau mau dilamar, kan. Jadi sejak awal juga saya melihat Icha ini care all about Stan. Saya setuju jika Icha pun tidak tertekan. Kalau boleh tahu papanya Stan di Singapur untuk apa ya? Karena saya juga tinggal di Singapura, barangkali bisa bertemu untuk membicarakan ini juga.”

“Bapaknya Stan bekerja disalah satu perusahaan di London. Dan perusahaannya ingin mengembangkan tempat produksinya jadi bapaknya Stan sementara ditugaskan disana. Sebentar saya akan bertanya lagi ke Terisya, ya nak.”

“Bagaimana, nak Terisya? Apakah kamu benar ingin menjadi salah satu keluarga Subrata dan menjadi seorang yang berharga untuk Stan dan menemaninya hingga maut yang memisahkan?” lanjut Tanya ibu Stan ke aku

“(tersenyum) Iya aku mau, tan.”

“Bagaimana Tasya sudah mendengarnya? Terisya tidak kami suruh untuk bilang iya loh.” meyakinkan kakakku

“Mmm..saya hanya bisa bilang congratulation, sayangku. Icha dan Stan mudah-mudahan bisa menjadi seperti harapan mereka.”

“Yeaahh..” teriak semua anggota keluarga Subrata yang tadi telah menunggu persetujuan dari kakak

“Bolehkah saya berbicara sebentar kepada Stan? Hanya memastikan untuk menjaga Icha disana.” permintaan kakak

“Iya, sist.” Stan yang mendengar langsung menuju dekat meja

“Stan, kakak cuma pesan sama kamu. Icha belum pernah mendapatkan kejutan seperti ini. Sekali terluka, dia akan coba untuk melupakannya, walaupun dia sudah memaafkan orang tersebut. Jadi pesan kakak, jangan coba untuk lukai dia karena tidak ada kesempatan kedua, ataupun ketiga. Kamu mengerti?”

“Siap, kakak. Akan aku ingat pesan kakak. Tidak akan melukai jika ingin bersamanya hingga maut memisahkan. Terima kasih kak atas pesannya.”

“Baiklah, hanya itu yang bisa kakak katakan. Cha..”

“Iya, kak.”

“Jadi yang terbaik, ya sayangku. Kakak masih ada acara. Selamat sore semua, wassalamualaikum.”

“Walaikumsalam.” jawab keluarga Stan dengan serempak karena memang semua keluarganya beragama Islam

Semenjak itulah, aku Terisya telah menjadi Terisya Subrata alias keluarga dari Stan Subrata yang saat itu menjadi calon suamiku. Dari kejadian itu, aku meyakinkan separuh hidupku ke Stan. Dan juga dari situlah aku mulai tumbuh untuk menjadi dewasa. Dan akhir dari malam itu adalah kebahagiaan yang tak akan pernah kulupakan selama hidupku.

“Kamu dipanggil Icha?” tanya Stan yang penasaran saat makan malam sekeluarga sedang berlangsung

“Iya, apakah aneh?”

“Tidak, sih untuk wanita yang akan menjadi istriku.(tersenyum)”

“Hey, kid. Jangan bicara saat makan malam, ya.” sahut Catherina, kakak ipar dari Stan

“(tersenyum kembali)” aku sambil melihat Stan

30 menit dihabiskan oleh kami semua atau bisa dibilang keluarga baruku untuk makan malam kali ini. Adzan isya yang terdengar dari rumah Stan yang memang tak jauh dari sebuah masjid kecil. Kami semuapun melaksanakan shalat berjamaah. Sehabis shalat, kami semua menyempatkan berdo’a untuk kelancaran bagi aku dan Stan. Dalam do’aku hanya harapan baik yang terucapkan. Bisa menjadi istri yang baik untuk lelaki yang saat ini bersamaku adalah salah satu do’aku.

Shalat telah dilaksanakan, menonton film terkenal adalah kegiatanku saat berkunjung ke kediaman dari Stan. Kami semua yang menonton terbawa emosi dari film Titanic, kalian pun akan setuju denganku yang mengatakan film ini adalah salah satu film terbaik selama ditayangkan. Saat sedang menonton, aku yang sangat terbawa dengan cerita ini, terus mengeluarkan air mata hingga aku tak sadar telah menempelkan kepalaku ke pundak Stan yang berada disampingku.

Film telah habis, kami melihat kearah satu sama lain, dan kamipun tertawa karena banyak dari kami termasuk calon ibu mertuaku saat itu menangis juga. Dan aku melihat sepertinya mukaku yang paling merah, sehabis air mata yang mengalir dipipiku. Tisu yang awalnya ada dua pak, sekarang tinggal setengah pak.

Karena sudah pukul tepat 09.00 malam waktu London. Aku harus pulang ke hotel. Karena tidak mungkin aku pulang sendiri ditengahnya malam, untuk itu Stan mengantarku.

“Semuanya, aku pamit dulu. Assalamualaikum.” mengucapkan salam kepada seluruh anggota keluarga yang kebetulan akan berada di rumah Stan selama beberapa hari

“Iya, wassalam. Hati-hati, Icha. Stan jangan ngebut dijalan, ya. Kasihan istrimu, uuuppzzz(sambil tersenyum)” kata Catherina

“Hmm.” kata Stan sambil membukakan pintu mobil untukku

Selama perjalanan, aku dan Stan mengobrol, bercanda, tertawa. Menceritakan pengalaman semasa kecilpun kami buka hanya untuk mengusir kejenuhan selama perjalanan. Dalam hatiku, aku sangat sangat bahagia bisa mendapatkan cowok yang memang serius.

Sampailah aku dihotel, sebelum aku membuka pintu mobil. Stan yang terlebih dahulu turun langsung membukakan pintu untukku. Sungguh terasa raja dan putri.

“Terima kasih atas makan malamnya, ya. Dan aku sangat suka dengan keluargamu. Sangat seru berada ditengah keluargamu.” pujianku untuk keluarganya

“Sama sama. Apakah aku sudah bilang kamu sangat cocok dengan gaun itu? Kamu sangat cantik, dear. Bolehkah aku mencium keningmu?”

“Mmm..untuk itu aku menolak. Kita belum resmi menjadi suami istri.”

“Lalu tadi kepalamu bersandar dipundakku?”

“Pundakmu? Aku tak mengingatnya. Bila iya aku lakukan itu, aku minta maaf.”

“Buat apa kamu meminta maaf? Sudah lupakan itu. Masuklah. Besok aku akan menjemputmu.”

“Okelah. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam.(senyum dan melambaikan tangan untukku)”

Aku yang saat itu memakai gaun berwarna merah, kali ini mukaku pun merah karena senang yang kudapati malam ini. Dulu, dijariku tidak terdapat warna yang berkilau, namun berbeda dengan saat itu. Cincin lamaran terlingkar di jariku. Menuju kamarku, yang kupikirkan hanyalah bagaimana dengan nanti. Nanti disaat aku menjadi istri, disaat aku menjadi ibu. Dua peran yang dilihat gampang namun untuk dilakukan sangat sulit, apalagi diumurku yang masih muda.

Didalam kamar aku mencari hpku dan sms kakakku. Kakakku ternyata terkejut saat aku dilamar oleh Stan, dan sempat tak ingin menyetujuinya. Namun akhirnya kakakku menyetujuinya karena tahu tentang perasaan yang sebenarnya telah kupendam. Aku juga mendapat kabar bahwa Rina sekarang telah mendapat tambatan hatinya. Seorang lelaki yang bekerja sebagai direktur di salah satu perusahaan ternama, yang kebetulan juga lelaki tersebut adalah teman dari Randy Wang (nama dari suami kakakku). Lelaki tersebut bernama Lee Shen. Bahagiaku berlipat ganda ketika mendengar kabar bagus itu.

Pagi hari, tepat jam 06.00 waktu London, Stan membangunkanku dengan menelponku. Ternyata Stan ingin mengajakku berolahraga, namun kutolak karena saat aku hendak pergi ke London, aku sama sekali tak membawa baju olahraga atau celana untuk berolahraga. Jadi, rencananya berubah dengan makan siang disalah satu cafe kesukaannya, Style Cafe. Obrolan sederhana terucap dari kedua bibir kita.

“Kok, disini orang-orangnya pada gak libur saat minggu?” heran

“Memang harus, ya. Waitress..” sambil memanggil pelayan dan langsung memesan makanan dan minuman

“Kalau di Indonesia gak libur juga sih tapi pada pagi hari ampe siang hari jarang ada cafe yang buka, karena pada pagi hari orang semua olahraga dan siang hari pada tidur siang.”

“Beda disini. Disini cafe pada libur pada hari senin.”

“Kok hari senin? Ada apa dengan hari senin?”

“Entahlah, akupun tak ingin mengetahuinya. Sudahlah, makan dulu.”

Begitulah Stan, tidak pusing dengan masalah apapun. Baginya masalah besar adalah bila sesuatu yang menimpa keluarganya dan dia terlibat juga itu adalah masalah besarnya. Berbincang-bincang dengan asiknya. Sebenarnya, aku belum pernah seperti ini. Ini pertama kalinya, harus serius dengan seorang lelaki yang akan menjadi suamiku.

Pembicaraan kita sempat terhenti dengan datangnya seorang cewek. Cewek tersebut tidak punya sopan santun. Dia langsung menciumi pipi dari Stan yang statusnya adalah calon suamiku. Cemburu, pastilah.  Aku sempat ingin sekali menempelkan lima jariku ke pipinya.

“Stan, hello.(menciumi pipi Stan)” cewek yang belum jelas

“Gwen. Go away from me!” kata Stan dengan kesal

“Hai. Who are you?” menyodorkan tangan kepadaku

“Aku Icha. Stan is my husband.” kataku dengan tegas. Padahal Stan baru calon.

“What? I’m sorry. Saya adalah mantannya.” sambil tersenyum jahat

“Baiklah. Bisa menjauh darinya? Sekarang dan untuk selamanya?”

“Maaf, tapi saya masih menyayanginya. Ada masalah?”

“Oh, jelas dong! Kamu perempuan murahan, ya!” kataku dengan emosi

“Gwen, pergilah. Aku adalah calonnya dan kita berdua akan menikah segera mungkin. Jadi, pergilah!” Stan yang mencoba mengusir Gwen

“Mmm.. baiklah. Tapi ingat saya akan kembali disaat yang tepat.”

Keributan di cafe  tersebut tidak bisa terhindarkan. Aku yang saat itu masih tersulut emosi, tidak jadi untuk makan dan meninggalkan Stan sendiri, langsung menaiki mobil. Stan yang melihatku yang sangat marah, mengejarku dan menjelaskan semuanya.

Ternyata Gwen adalah pacarnya saat dia duduk dikelas 10. Mereka telah berpacaran selama 4 tahun. Sampai pada akhirnya Stan harus memutuskan Gwen karena didepan matanya Gwen yang saat itu mabuk sedang berciuman dengan sahabat Stan sendiri, Michael. Saat itu Gwen mencoba menyembunyikan hubungannya dengan Michael. Seperti pepatah, Sepandai-pandainya tupai melompat akan terjatuh juga. Sepandai-pandainya Gwen bersembunyi dari Stan, Stan akan menemukan kebusukan itu.

Setelah menjelaskan semuanya, aku mulai tenang. Namun, ketakutan dalam diriku saat itu adalah perasaan Stan akan kembali ke Gwen. Aku mencoba percaya padanya.

“Ya sudahlah. Ayo, kita pulang. Aku tidak nafsu untuk makan lagi.” kataku

“Baiklah. Tapi aku bayar dulu. Kamu tunggu dimobil,ya.”

“Baiklah.”

Aku yang didalam mobil masih sangat cemburu. Entah mengapa saat itu, aku tak ingin kehilangan Stan. Mungkin karena ini kali pertama aku diperlakukan spesial oleh seorang cowok, akupun tak mengerti. Sejak kejadian itu aku lebih emosional apabila Stan tidak memberikan kabar kepadaku.

Waktuku di London tertinggal satu minggu lagi. Hari senin, selasa, dan rabu adalah hari yang sangat membahagiakan. Dihari itu aku selalu bersama Stan, kemanapun ada aku dan dia. Tiba-tiba hari kamis sangat berbeda, kurasa Stan tak ingin bersamaku lagi.

“Cha, Gwen smsan sama aku.” katanya

“Ohh.” jawabku dengan tak memperdulikan

“Dia sungguh-sungguh ingin kembali padaku.” lanjutnya yang ingin memanas-manasiku

“Lalu, kamu jawab semua sms dia? Kamu itu tunangan aku atau teman aku? Jujur aku sayang kamu.” kataku dengan emosi sambil menangis

“Cha.. Cha..”

Saat itu, aku belum mau bertemu dengan Stan. Setiap kali dia menelpon, aku reject. Tiap kali dia message aku di facebook, aku tak balas. Namun lama-lama aku rindu dia. Aku berulang kali berpikir apa yang salah. Aku merasa aku yang egois. Gwen adalah masa lalu Stan, apa yang harus kucemburui?

Setelah lama merenungkan apa yang terjadi. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta maaf ke Stan tentang keegoisanku. Untuk meminta maaf aku menyiapkan sendiri makanan untuk Stan yang saat itu berada dikantornya. Namun apa yang kudapati. Kumelihat hal yang tidak seharusnya kulihat.

“Pasti Stan suka dengan ini.” kataku sambil membawa tempat makanan untuk Stan makan siang dikantor.

Setelah aku tepat berada didepan ruang Stan, aku melihat Gwen dan Stan sedang berciuman didepanku. Menangis, tentu kulakukan. Namun tangisanku belum menyadarkan mereka berdua.

“(berkata dalam hati) Sayang, kalau kamu benar ingin bersamaku. Aku ingin kamu berbalik saat aku hitung sampai tiga. Satu.. dua.. tig..(tempat makanan yang kubawa terjatuh)”

Stan yang sadar dengan keberadaanku langsung melepas Gwen dan mengejarku yang saat itu menangis. Sakit pastilah sakit, sayang yang telah kuterima dan persilahkan untuk masuk kedalam duniaku ternyata bukanlah jodohku. Bukanlah harapanku. Saat itu juga aku melepas cincin dari Stan, menghapus nomor handphone Stan.

Aku yang saat itu hanya seorang diri datang ke London langsung menceritakan ke kakakku, Rina, dan Catherina. Aku sangat kecewa pada Stan. Aku sangat bodoh dan tak bisa berpikir jernih. Tangisanku menemaniku selama dua hari berturut-turut hingga akhirnya aku harus meninggalkan London dan kenanganku di London.

“Assalamualaikum, kak. Icha pamit pulang, ya. Maaf Icha belum bisa menjadi keluarga kakak seutuhnya. Salam buat ibu dan Stan. Wassalamualaikum.”

Itulah isi smsku ke kak Catherina, kakak ipar dari Stan. Aku ingin sekali berbicara langsung ke ibunya Stan, tetapi aku pikir itu hanya melukai hatinya. Sms itu kukirimkan saat jam menunjukkan pukul 6 sore waktu London dan aku sudah berada di Heathrow, London. Selama menunggu pesawat yang akan kutumpangi datang, aku menelpon kakakku.

“Assalamualaikum, Cha.”

“Walaikumussalam, ini dengan kak Tasya bukan?” tanyaku karena suara yang kudengar bukanlah suara kakakku

“Bukanlah. Ini dengan Rina, kakakmu sedang ke kamar mandi. Cha, aku turut sedih dengan apa yang kamu alami. Kamu baik-baik saja, kan?

“Iya, makasih banget. Ngapain harus sedih?” mataku sudah berkaca-kaca

“Kamu memang cewek yang sangat tegar yang pernah kukenal. Kamu sudah akan balik ke Yogya?”

“Iya, saat ini aku sedang berada dibandar udara Heathrow, London. Kamu selamat, ya. Sudah mendapatkan tambatan hati. Cari cowok jangan seperti aku, ya. Aku terlalu terlena dengan apa yang ada.”

“Itu juga berkat kakakmu aku bisa mengenal Lee. Ini kakakmu sudah ada, bicaralah.”sambil memberikan handphone ke kakakku

“Assalamualaikum, sayangku. Kamu masih menangis? Kakak janji tidak akan membiarkan cowok itu nyakitin kamu lagi. Kamu ke kakak aja ya!”

“Aku udah gak nangis lagi kok. Mungkin ini sudah menjadi ceritaku dan menjadi bekalku untuk kedepannya.” mencoba tersenyum

“Sayang, kamu harus tegar, ya. Seandainya kakak ada disitu udah kakak cari cowok itu. Kakak akan buat dia menangis darah. Enak aja udah buat adik tersayang kakak ini menangis. Padahal adik kakak ini kan cantik.”

“Hmm, iya kak. Mungkin dia hanya ingin cewek yang sexy aja, kan aku gak sexy tapi aku baik hati.” mencoba tersenyum dalam tangisan

“Nah, itu baru adik kakak yang manis, cantik, dan baik hatinya. Kamu ke Singapur aja deh. Temani kakak dan Rina disini. Mau, kan? Ayolah? Kakak sangat ingin temani kamu disini. Dan sangat ingi ditemani kamu.”

“Mmm.. kayaknya setelah aku dari Yogya aja deh. Soalnya aku harus melapor ke Pak Suparman. Kan, ini laporan harus ada di tangannya beliau. Maaf ya, kak. Aku janji deh setelah beberapa minggu di Yogya, aku bakal ke Singapura sesegera mungkin.”

“Oh, iya kakak lupa dengan pak ketua. Baiklah, kamu akan berada di Yogya selama 1 bulan saja dan akan langsung berangkat ke Singapura. Dan sebagai kakak yang sayang adiknya, kakak bakal minta ijin ke Pak Suparman agar kamu di Singapur selama dua minggu.”

“Makasih, kak. Kak, aku harus naik pesawat nie, kita cerita lagi ntar kalau aku udah nyampe di Indonesia.”

“Baiklah, adikku sayang. Hati-hati. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam.”

Saat itu juga aku langsung memasang headphone untuk mendengar lagu-lagu favoritku. Dan ternyata di waktu yang bersamaan Stan yang mengetahui aku akan pulang ke Indonesia hari ini, dan tentu saja hal itu dia tahu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari kak Catherina yang memberitahukannya. Dia langsung berangkat ke bandara dan sesaat setelah sampai di bandara, dia melihatku yang saat itu sudah memakai headphone dan memegang koper merahku. Lantas aku saat itu tak mendengar apapun, dari kursi menunggu ke kursi pesawat.

Selama aku didalam pesawat, aku selalu memandang keluar jendela dan kebetulan, kursiku memang didekat jendela. Aku selalu berkata dalam hati, “Sempat akan dijadikan tempat yang terindah. Tapi sayang itu hanyalah sebuah anganku.” Beberapa kali melihat keluar jendela dan berharap suatu hari nanti aku akan kembali dengan cerita yang sangat menakjubkan bukan kembali dengan menyedihkan seperti saat ini. Mungkin Allah akan memberikan hal yang sangat menyenangkan ke depannya. Aku harus pasrah kali ini, baru pertama kali merasakan jatuh cinta sudah diberikan cobaan sedalam ini.