Sedih rasanya bila melihat
kebelakang. Kisah yang sangat menyedihkan dan diderita oleh diriku sendiri
dimasa yang mana seharusnya aku bahagia bersamanya. Mungkin ini suratan dari
Yang Kuasa untuk dua insan yang saling menaruh hati. Inilah kisahku.
Perkenalkan namaku Terisya sering
dipanggil Icha. Aku adalah salah satu mahasiswa di Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia. Umurku 19 tahun. Orangtuaku telah meninggal saat aku
berumur 17 tahun. Aku salah satu orang yang sama sekali tidak mementingkan yang
namanya “PACARAN” karena bagiku pacaran hanya bisa mengganggu pikiran bahkan
bisa menimbulkan yang namanya “PIKIRAN NEGATIF” itulah pemikiranku. Karena
pacaran bukanlah prioritasku maka hobiku pasti sudah ditebak. Yap, membaca dan
belajar adalah hobiku sejak dulu. Bisa dibilang kuper karena keseringan membaca
diperpustakaan. Tapi masalah style,
jangan ditanya deh. Walau kuper namun styleku
tidak sama sekali kuper.
Hari ini mata kuliahku adalah
bahasa inggris. Ohh ya aku lupa, di Universitas Gadjah Mada aku mengambil jurusan bahasa dan sastra.
Dosenku, Bu Pipit termasuk dosen yang tegas namun bisa diajak kompromi. Beliau
tahu jika mahasiswa sekarang sangat berbeda dengan mahasiswa dulu. Suka
terlambat, malas tahu adalah contoh mahasiswa masa aku sekarang. Dikelasku, aku
adalah satu-satunya murid yang sangat sering mengangkat tangan alias bertanya.
Karena itulah, ketua dosenku, Pak Suparman memberikan aku tiket liburan
sekaligus belajar ke London.
“Cha, enak banget sih, kamu.
Jujur aku iri banget. Bisa gak aku minta dikit otakmu yang cerdas?” gurauan
sahabatku, Rina
“Eits, siapa bilang aku cerdas?
Aku bukan cerdas. Tapi aku rajin.” jawabku
“Sama aja kali, Cha.”
“Sama apanya? Dari kalimatnya aja
beda. CERDAS dan RAJIN, jauh beda deh.” sangggahanku
“Iya deh, yang pinter selalu
bener.”
Hanya senyum yang kubalas. Rina
adalah satu-satunya sahabat yang mengerti aku. Buktinya saat orangtuaku
meninggal, dia yang selalu ada didekatku. Aku dan dia memang telah lama
bersahabat. Kita bersahabat sejak duduk di bangku SMP. Bagi dia orangtuaku adalah
orangtuanya juga. Sebaliknya juga seperti itu. Saat ini aku dan Rina tinggal
bersama di kost-an. Semua cerita cintanya telah capai ku dengarkan.
“Cha, tahu gak cowok yang berada
dibelakang kost-an kita minta nomor hpku, lho?” ceritanya dengan heboh
“Cowok yang mana? Setahuku
dibelakang kost-an kita yang tinggal adalah keluarganya Mira?” balasku dengan
penasaran
“Emang, keluarganya Mira. Cowok
itu adalah kakak sepupu dari Mira. Dia baru saja nyelesain kuliahnya di
Makassar. Dan yang aku tahu dia sempat diterbangkan ke Austria untuk men-design rumah gitu.”
“Ohh. Cuma gitu doang? Emang
ganteng ya ampe-ampe kamunya kegirangan gitu? Dan Austria tu dimana sih?
Setahuku Australia bukan Austria?” tanyaku
“Yah, kamunya diceritain cuma
bilang ohh atau gak gitu doang. Menurutku sih, dia gak begitu ganteng seperti
artis tapi dia tu tinggi, six pack dan bisa dibilang cowok yang diincer-incer
tahun ini.”
“Hadeh, hati-hati lho. Cowok
gituan bisa aja hanya mempermainkan hati cewek.”
“Alah, darimana kamu tahu? Pacar
aja kamu belum punya ampe sekarang. Emang napa sih, Cha kamu belum punya pacar?
Atau jangan-jangan kamu itu ya sama aku?”
“Berpikirlah seperti itu terus.
Aku tu belum mau punya pacar karena orangtua aku pernah berpesan padaku agar
aku sukses dulu baru bisa cari-cari cowok. Udah ah, lebih baik aku maen facebook, kali aja ada cowok yang mau
nge-chat bareng aku.” jawabku sambil mengambil laptop dan modem
“Berkhayal aja kamu, Cha.”
Beberapa menit kemudian, saat facebook aku mainin. Ada satu cowok yang meminta pertemanan. Baru saja aku
ingin confirm, cowok tersebut sudah chatting aku terlebih dahulu. Cowok itu
bernama Stan Subrata. Agak aneh bila didengar, nama cowok ini.
“Rin, sini deh. Omongan aku
tadi terjadi. Baru aja aku buka facebook ada cowok yang langsung chat bareng
aku.”
“Mana-mana? Ganteng pa kagak?”
“Sini, lihat dulu deh. Namanya
lucu. Stan Subrata.” kataku sambil memperlihatkan wajah dari cowok yang baru
saja chatting denganku
“Dia make bahasa apa ke kamu?” tanya dengan penasaran
“Bahasa Indo sih, tapi kok
namanya Stan? Lalu di infonya dia pernah belajar di Universitas Mighty di
London?” curiga dengan cowok yang baru dikenal
“Coba deh kamu telusuri lewat
foto-foto yang ada dikronologinya dan profilnya?”
“Bentar ya aku lihat dulu… Sama
semua wajahnya, Rin.”
“Masa sih? Ya mungkin dia
keturunan Indo-London?” pikiran yang positif
“Indo-London? Blasteran gitu ya?”
“Yap, betul. Eittt tunggu dulu,
kamu kan bakal ke London untuk belajar sekaligus liburan, kan? Gimana kalau
kamu nyuruh dia untuk jemput kamu aja?” rencana dari Rina
“Heh? Ngapain aku suruh dia
jemput aku? Emang aku siapanya dia? Kalau ngasih saran yang bener dong, Rin.” kebingungan akibat rencana Rina
Awalnya, aku tidak memiliki
firasat ataupun hal semacam begitu. Namun lama-kelamaan cowok ini dan aku makin
dekat. Melihat aku mulai dekat dengan seorang cowok walaupun melalui facebook,
Rina sangat senang. Setiap aku mulai sedih, Rina selalu mengatakan seperti ini
“Apa karena Stan?” itulah kata-katanya. Aku sangat senang memiliki sahabat
sepertinya, aku telah menganggapnya seperti saudariku satu-satunya karena
orangtuaku telah meninggal dan saudari kandungku telah berada di Singapura
sebagai executive producer. Dialah
yang menjadi inspirasiku agar aku bisa keluar negeri. Dia, saudari kandungku
yang bernama Tasya. Aku sangat merindukan dirinya, dia adalah satu-satunya
keluargaku yang masih ada sampai hari ini. Rina dan kak Tasya, aku sangat
menyayangi mereka. Mereka adalah belahan jiwaku.
Stan, cowok yang baru kukenal dan
kali ini dia ingin mengenalkan saudara-saudaranya serta kakak iparnya. Sangat
aneh. Aku baru mengenalnya itupun melalui Facebook, dan dia sudah ingin
mengenalkanku ke keluarga besarnya.
“Rin, kamu mau dengar kabar bagus
gak?” tanya dengan heboh
“Mau-mau. Apaan itu? Tentang
Stan? Atau sepepunya Mira?” sangat penasaran
“Tentang … (hpku berbunyi, tanda
telepon masuk) sabar ya, aku terima telpon dulu ntar aku lanjutin.”
“Assalamualaikum.” mengangkat
telepon yang masuk
“Walaikumsalam, sayangku.
Bagaimana kabarmu?” ternyata Tasya, kakakku menelepon yang baru saja menerima
kabar dari Pak Suparman
“Baik, kak. Bagaimana kabarnya
kakak? Ohh iya tumben nelpon? Ngasih uang ya di rekeningku?” candaku
“Adik kakak ini emang belum
berubah ya. Uang mulu yang dipikirin. Emang kakak udah kirim uang di
rekeningmu.”
“Yesss.”
“Hmm, kebiasaan. Kakak dengar
kamu bakal ke London bulan depan ya? Emang kamu buat apaan ampe dikirim ke
London? Ikut dong, sayang.”
“Aku gak buat apa-apa kok, kak.
Emang udah kebiasaan Pak ketua berikan hadiah ke aku. Ha ha ha.” jawabku
“Kak Tasya, Icha lagi dekat
dengan cowok luar loh.” teriak Rina yang telah mendengar percakapan aku dan
kakakku
“Heii.”
“Bener tu, Cha? Kalau emang
bener, kakak gak papa kok. Asal kuliahmu tidak terganggu sama sekali, ya
sayang.” nasihat dari kakak
“Iya, iya, kak. Aku juga belum
kenal betul kok dengan cowok itu.”
“Ya udah, gak papa kok, ntar
kalau udah jadian kabarin kakak kali aja jodohmu.” candaan kakak
“Aduh, kakak sama aja dengan
Rina.”
“Emang dia orang apa, Cha?”
“Setahuku London. Tapi dia ada
darah Indonesianya, kak. Jadi kalau ngobrol masih gampang, lah”
“London? Jauh bener, Cha kamu
maen ke sana? Wah, yang liburan bakal seneng nie.” digoda lagi
“Aku kesana juga bukan hanya
liburan kok, kak. Aku belajar juga disana. Jadi gak ada waktu untuk berduaan.
Ha ha ha.”
“Tu kan udah mulai menuju ke
jadian. Selamat ya, sayang. Sukses selalu dan selalu inget pesan almarhumah
mama dan almarhum papa, ya. Udah dulu ya, kakak ada acara lagi, nie. Ntar kalau
ada kesempatan, insyallah sebelum kamu pergi ke London. Kakak bakal ke Yogya.
Oke.”
“Okelah ditunggu hadiahnya juga
ya, kak.”
“Iya sayang, wassalamualaikum.
Makasih Rina udah ngasih infonya.”
“Sama-sama kak, wassalam.” teriak
lagi dari Rina
“Wassalam.” jawabku
Begitulah percakapan aku, kakakku
serta Rina, sahabatku. Tiga kali dalam seminggu dan saat malam hari adalah
waktu yang tepat untuk kakakku menelpon. Begitulah executive producer yang sangat sibuk. Tapi aku sangat bangga pada
kakakku. Dia bisa membagi waktunya untuk keluarganya dan aku. Mungkin semasa
kecil aku ingin sekali menjadi dokter, presiden dan segala macamnya namun
sekarang aku ingin menjadi seperti kakakku. Sukses diusia muda dan memiliki
keluarga yang selalu mendukungnya.
“Ohh ya, Cha. Tadi kamu pengen
cerita apaan?” penasaran dengan ceritaku yang terputus karena aku menerima
telepon dari kakak
“Iya, aku pengen cerita nie
tentang Stan.”
“Ada apa lagi dengan Stan? Dia
buat kamu sedih? Atau dia punya kekasih? Yaaahh, kasian banget kamu.”
“Belom juga di ceritain, udah
ngasal bilang. Stan pengen ngenalin aku ke keluarga besarnya. Padahal, kan dia
dan aku baru saja kenalan. Kira-kira dan menurutmu ngapain dia mau kenalin aku
ke keluarga besarnya, ya?” meminta saran dari Rina
“Mungkin dia pengen langsung
nikah ma kamu? Ngomong-ngomong kita bicarin Stan tapi aku belum tahu dengan
agamanya. Agamanya apa?” saran asal-asalan dari Rina
“Nikah dari Jepang? Gak mungkin
lah dia mau nikah ma aku? Baru kenalan juga. Agamanya? Dia beragama Islam kok.”
“Ya, kali aja, kan. Kalau dia
udah cukup umur. Why not? Apalagi dia beragama Islam, cocok banget deh dengan
kamu.”
“Tu kan ngasal lagi omongannya.”
Rina, sahabatku yang ngomongnya
selalu ngasal. Selalu buat aku tersenyum dan tertawa tiap harinya. Aku merasa
tidak sepi bila tidak memilki pacar karena ada sahabatku yang satu ini.
“Ehh, gimana kamu dan sepupunya
Mira itu? Siapa namanya? Aku lupa?”
“Aku ma dia? Baik-baik aja kok.”
“Bukan itu maksudku. Maksudku,
bagaimana kelanjutannya? Kamu ma dia pacaran atau masih gebetan?”
“Ohh itu. Iya emang kita udah
jadian dari 2 hari yang lalu. Makanya kalau info kayak gini ditelusuri, dong.
Kuper kok masih dipelihara.” jawab dengan serius namun tetap santai
“Emang aku pikirin, aku yang
kuper napa kamu yang ribet.” balasku dengan menjulurkan lidah
“Iya deh, yang pinter dan kuper.”
Pagi ini di kuliahku diadakan
acara seminar untuk adik tingkatku. Aku dan Rina kebagian menjadi panitia. Acara
yang diselenggarakan oleh Pak Suparman ditujukan agar mahasiswa yang baru di
Universitas Gadjah Mada lebih peduli pada kuliah baru atau tempat baru menimba
ilmu.
Jam 12.00 tepat, agendanya adalah
makan siang bersama walikota dari Jakarta. Semuanya pada makan siang namun aku
dan Rina main facebook. Semenjak aku kenal Stan, aku keseringan membuka
facebook. Rina pun bingung aku sudah berubah meskipun masih sedikit kuper namun
dia turut bahagia karena telah menemukan seorang cowok.
“Hai.” chat yang diawali oleh
Stan
“Hai, sekarang disana jam berapa?
Dan kamu sedang ngapain?”
“Disini jam 1 malam. Aku hanya
chatting sama kamu dan ngobrol dikit dengan kakak iparku.”
“Kakak iparmu? Siapa namanya?
Cewek atau cowok?”
“Cewek lah, namanya Catherina.
Dikeluargaku hanya ada 4 orang laki-laki, adikku, aku, kakakku dan bapakku.”
“Ngomong-ngomong, aku belum tahu
siapa yang berasal dari Indonesia dan siapa yang dari London? Itupun kalau kamu
mau berbagi cerita sama aku.”
“Maksudmu orangtua aku atau orang
lain?”
“Orangtua kamu lah.”
“Ohh, itu. Ibu aku berasal dari
Indonesia dan papaku berasal dari London. Aku pernah tinggal di Indonesia
selama lima tahun loh.”
“Selama lima tahun? Kapan tu?
Lama banget, pantes kamu bisa bahasa Indonesia, malah lancar banget gitu.”
“Saat aku berada di Indonesia
umurku menginjak 10 tahun. Aku berada di Jakarta saat di Indonesia. Aku sangat
senang bila tinggal disana. Karena disana orangnya pada peduli, tidak kayak di
London. Di London orang-orangnya pada kaya-kaya sih, tapi pedulinya sedikit banget.”
“Ohh, gitu ya disana. Aku bakal
ke London loh.”
“Kamu mau ke London? Ngapain?”
“Aku diberi tiket ke London untuk
belajar sekaligus liburan. Bisa, kan kita ketemu?”
“Sangat bisa dong dear. Ooopzz
I’m so sorry.”
“Gak papa kok.”
“Kalau boleh tahu kamu sudah
punya pacar gak?”
“Pacar? Belum sama sekali.”
“Maksud kamu belum sama sekali?
Kamu belum pernah berpacaran?”
“Ya, bisa dibilang begitu sih.
Jujur aku termasuk kuper, hobi saja membaca buku dan belajar.”
“Kuper? Masa sih? Foto kamu gak
kuper kok?”
“Yah gitu deh, kalau masalah
pacaran aku kuper namun masalah style jangan ditanya deh. Aku tidak
kuper.”
“Ohh, gitu ya. Maaf aku harus tidur
sekarang, ya. Good night dear.”
“Good night.”
Saatnya kembali ke acara seminar.
Rina yang selalu menemani aku, sekarang dia sedang sibuk mondar-mandir untuk
mengawasi adik tingkat. Kasihan dia, untung ada aku jadi aku bisa membantu dia.
Itulah arti sahabat yang sebenarnya. Saat sahabat sedang susah, seharusnya kita
saling membantu.
Beberapa menit telah berlalu dan
acara seminar pun telah selesai sedetik yang lalu. Aku dan Rina pun langsung
kembali ke kost-an kita. Saat berjalan menuju kost-an langkah kita terhenti
karena ada seorang lelaki yang menahan Rina. Aku tidak mengerti mengapa lelaki
tersebut menahan Rina.
Ternyata lelaki itu adalah
Marcel, sepupu dari Mira dan juga pacar dari Rina. Agar mereka lebih nyaman
untuk mengobrol, aku langsung pergi dari hadapan mereka berdua. Aku hanya
mendengarkan percakapan mereka lewat jendela yang tertutupi horden. Mereka
adalah pasangan yang sangat serasi menurutku. Rina menyayangi Marcel dan Marcel
mencintai Rina. Aku harap Marcel adalah belahan jiwa Rina, tapi kalau Rina
sudah menikah aku dengan siapa? Sudahlah yang penting Rina sudah memiliki
pendamping.
Alarm berbunyi, matahari telah
terbit dari timur artinya pagi telah menyambutku dan menyuruhku untuk segera ke
kuliah. Pagi ini aku melakukan aktivitasku seperti biasa. Yang berbeda
hanyalah, dulu aku berangkat bareng Rina namun sekarang dia pergi bareng
Marcel. Nasibku yang masih menjomblo sampai saat ini. Tapi aku senang bila
sahabatku juga senang.
Sesampainya di kampus aku
dipanggil oleh Pak Ketua, Pak Suparman. Sempat bingung sih, karena aku tidak
melakukan kesalahan apapun. Saat bertemu Pak Suparman, aku langsung disuruh
duduk di kursi yang berada di depanku.
“Pagi, Terisya. Bagaimana dengan
mata kuliahmu? Apa ada masalah?”
“Pagi, Pak. Setahu saya, saya
tidak memiliki masalah apapun dengan mata kuliah saya. Kalau boleh tahu saya
dipanggil untuk apa ya, Pak?”
“Begini, kamu tahu kan bahwa
seminggu lagi kamu akan diberangkatkan ke London?”
“Seminggu lagi? Saya pikir masih
dua minggu lagi, Pak?”
“Mungkin karena kamu keseringan
membaca, ya kalau kamu akan pergi ke London pada tanggal 26 November? Dan 26
November itu seminggu lagi.”
“(hanya bisa tersenyum) Maaf, Pak.
Soalnya saya tidak pikir ke situnya.”
“Iya, bapak mengerti. Karena
seminggu lagi kamu akan pergi, bapak ingin kamu ikut ke dalam training tour. Nanti disana kamu bisa
mengerti tentang dunia di luar negeri bagaimana? Itupun kalau kamu mau, tapi
kalau kamu tidak mau. Bapak tidak apa-apa, bagaimana?”
“Training tour? Kegiatan tersebut selama berapa hari, Pak?”
“Hanya tiga hari untuk kamu
karena bapak tahu kalau kamu untuk bahasa sudah complete. Dan tiga hari itu dilaksanakan tiga hari sebelum kamu
berangkat ke sana. Bagaimana?”
“Oke, pak. Tapi pendaftarannya
bayar berapa, pak?”
“Masalah pembayaran bapak sudah
tanggung semua. Jadi besok bapak akan kasih tahu perkembangannya seperti apa,
ya.”
“(hanya tersenyum namun dalam
hati mengatakan yes) Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.”
“Oh, iya. Persiapkan dirimu
dengan baik, ya.”
“Siap, pak.”
Sehabis keluar dari ruangan Pak
Suparman hatiku sangat senang dan sangat sangat senang. Orang pertama yang
kucari adalah sahabatku, Rina. Saat aku menemui Rina ditaman, aku melihatnya
sedang tertunduk dengan tangan yang menutupi wajahnya. Sempat bingung ada apa,
namun langsung kutanyakan padanya.
“Hey, Rin.”
“…” tidak menjawab salamku
“Ada apa denganmu, Rin? Kamu mau
aku …”
“Cha ..” langsung memelukku
dengan tangisan yang ada dipipinya
Rina pun menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Ternyata tentang percintaannya yang gagal yang ketiga
kalinya. Marcel memutuskan untuk meminang seorang cewek dan orang itu bukan
Rina, tanpa berkata apapun beberapa menit yang lalu Marcel langsung memutuskan
Rina. Padahal aku berharap Rina dan Marcel akan menjadi pasangan suami istri.
Itulah cinta, tak ada yang pernah tahu tentang itu, saat keduanya telah setia
ternyata bukan jodoh.
“Tenanglah, ada aku. Biarkan
semuanya lenyap dimakan waktu. Ubah hidupmu.” kataku yang masih dipeluknya
“Makasih ya, Cha. Hanya kamu yang
bisa kujadikan sandaran saat ini.”
“Sama-sama. Karena hari ini kamu
telah membasahi bajuku, sekarang kamu harus traktir aku ice cream. Oke? Sudah hapus air matamu. Malu tahu, udah gede masih
nangis.” sambil menarik tangan Rina
“Sip, lah.” jawabnya sambil
menghapus air matanya
Sesampainya dikantin, aku
dibelikan ice cream oleh Rina.
Padahal saat itu aku sedang senang namun kusimpan cerita bahagiaku untuk diceritakan
di kost-an saja. Selama dikantin Rina banyak bercerita tentang Marcel, namun
kubiarkan saja agar apapun yang ada dipikirannya saat itu terlepas dan diapun
akan lega. 10 menit kami dikantin.
“Udah ah, masuk ke kelas yuk!”
ajakanku
“Siap,bos. Kali ini aku akan
ikuti perintah.”
“(menarik keatas alis kanan)”
2 jam berlalu dan berakhirnya
mata kuliah untuk hari ini. Sesampainya kita dikompleks, ada Marcel yang berada
tepat disamping kost-an kita namun Rina belum menyadarinya. Aku hanya terdiam
dan ingin mengetahui reaksi dari Rina. Saat Rina mulai menyadari dan berpapasan
dengan Marcel, dia hanya diam sambil menundukkan kepalanya dan berlalu.
Sedangkan, Marcel melihatnya seperti masih memiliki perasaan yang mendalam. Aku
tak tahu sebenarnya yang terjadi. Saat masuk kedalam kost-an, Rina langsung
masuk ke kamar mandi dan pecahlah air matanya sambil teriak.
“Napa, Cel? Aku salah apa sama
kamu sampai kamu memutuskan begitu saja?” itulah katanya sambil menangis
“Hmm..(dalam hati aku berkata,
kasihan dia)”
Beberapa menit di kamar mandi dan
menangis, hal itu mencemaskan aku. Hanya takut dia berbuat sesuatu yang
membahayakannya.
“Rin, kamu tidak apa-apa?
Keluarlah dan ceritakan apapun yang ingin kamu ceritakan.” teriakku
“Aku sudah tidak apa-apa kok.” sambil membuka pintu kamar mandi
“Kamu yakin?”
“Iya. Kan, kamu yang bilang
sendiri harus ubah hidupku.”
“Baguslah. (walaupun kutahu dia
belum bisa berhenti untuk menangis)”
Siang hari telah tiba, angin
datang cukup banyak. Dan sangat asik bila tidur. Berdering, handphoneku
berbunyi dan tertulis kakak. Ternyata kakakku menelpon untuk menjemputnya di
bandara Adi Sujipto karena dia baru saja mendarat di Yogya. Saat itu juga aku
langsung mandi dan memakai pakaian. Sempat mengajak Rina untuk ikut bersamaku,
namun dia menolak hanya karena takut melihat wajahnya Marcel. Aku cukup
mengerti. Jadinya aku menjemput kakakku sendiri.
Setibanya di bandara, aku belum
melihat kakakku. Lewat sms, kakakku mengatakan bahwa pesawatnya baru saja
mendarat. Terpaksa menunggu lama dimobil. 30 menit berlalu, kakakku baru
muncul.
“Kakak!” teriakku
“Ohh, adikku sayangku. Bagaimana
kabarmu? Kamu tambah cantik dibanding kakakmu sendiri.”
“Baik, kak. Kakak bisa saja
becandanya. Ntar kalau udah nyampe di kost-anku, kakak jangan terlalu ganggu
Rina, ya.”
“Emang ada apa dengan Rina? Dia
lagi marah atau sedih?”
“Baru saja dia putus dari
pacarnya yang dia sayangi.”
“Ohh kasihan dia. Ni..” sambil
menyodorkan cokelat
“Yeaahhh, cokelat. Dibeli dari
Singapura?”
“Siapa yang bilang? Kakak beli
diatas pesawat kok. (sambil tersenyum)”
“Alamak, tapi ada hadiah apa gitu
didalam koper, kan? Pasti ada, kan?” sangat ingin oleh-oleh dari Singapura
“Iya, ya. Apa sih yang gak buat
adiknya kakak yang satu ini (sambil menarik hidungku)”
“Tambah mancung lah diriku ini.
Ohh iya, mana si kecil yang keren itu?” menanyakan anak dari kakakku yang
sangat tampan
“Dia harus ke sekolah dan dia
tidak bisa izin walaupun seminggu.”
“Emang sekarang dia kelas
berapa?”
“Sekarang dia udah kelas 3 SD.
Sekarang dia sudah bisa memainkan piano. Tahu lagunya Home yang dibawakan ma
Westlife? Dia sudah bisa mainin not-notnya. Pinter, kan?”
“Iya deh, yang punya anak tampan
dan pinter.”
“He he he.”
Sesampainya di kost-an, kakak
langsung meminta makanan khas Indonesia yaitu ikan bakar. Dan langsung
mengajakku untuk malam ini makan diluar bersamanya. Jadi malam ini, aku dan
Rina ditraktir oleh kakakku. Betapa senang hatiku, seperti keluargaku telah
berkumpul disini.
“Kalian mau makan apa aja?”
“Kepiting saus padang.. Ayam
bakar..” jawab aku dan Rina
“Sayurnya tumis kangkung aja,
ya?”
“Oke.”
“Minum apa kalau kamu, Cha?
“Jus pear.”
“Kalau kamu, Rin?”
“Aku mau minum Jus jeruk aja,
kak.”
“Mas, kalau aku teh anget aja,
ya.” kata kakakku pada pelayan laki-laki
“Baik, bu.” jawab pelayan
tersebut
Selama kita menunggu makanan
serta minuman datang, kita hanya berbincang-bincang.
“Gimana dengan kuliah kalian? Ada
cerita apa nie tentang kuliah kalian. Kakak pengen denger.”
“Kuliah? Icha lebih pinter, kak.
Makanya aku pengen minta otaknya dikit doing tapi dianya tidak mau kasih, kak.” canda Rina
“Ohh, adik kakak ini pinter, ya?
Pinter pacaran atau masalah belajar?” sambil mengelus kepalaku
“Pinter dalam belajar lah, kak.
Buktinya aku bakal ke London pada tanggal 26.”
“Cha, aku boleh ikut gak? Kalau
kamu pergi jauh aku sendiri, dong. Mana males lihat cowok yang berada
dibelakang kost-an kita.”
“Gimana cara bayar tiketnya?
Tiket pesawat aja yang urus pak ketua.”
“Rina mau pergi keluar negeri?
Kalau mau ntar pergi ke Singapura bareng kakak aja. Sekalian kamu lihat-lihat
disana. Mau?” kakakku menawarkan liburan gratis kepada Rina
“Masa sih, kak? Apa aku gak
ngerepotin kakak? Kakak kan udah berkeluarga?”
“Kok adiknya ndiri gak diajak?”
sambil cemberut
“Adiknya kakak ini kan udah
pinter jadi kalau mau keluar negeri tinggal belajar yang baik baru bisa deh
keliling dunia. Kalau Rina, kan agak gimana gitu. Becanda, Rin.”
“He he he, bener juga tu Cha. Kan
kamunya udah sering keluar negeri dengan kepintaranmu, kalau aku? Boro-boro deh
mau keluar negeri, ke daerah lain aja belum pernah.”
“Iya, iya deh.”
“Gimana, Rin? Mau gak, kamu bisa
ikut kakak lihat-lihat acara yang kakak produserin, kali aja kamu ada bakat
dibidang itu. Dan Sam bakal senang kalau ada teman mainnya.”
“Sam? Siapa tu, kak? Aku belum
pernah kenal nama itu.”
“Sam itu anaknya kakakku, ganteng
loh. Mungkin bisa mengusir kejenuhanmu dengan Mr. M. Upppss salah ngomong.”
“Ganteng? Boleh boleh. Boleh kan
kak, aku jadi pacarnya? Dia belum punya pacar, kan kak?” tanya Rina yang ingin
tahu
“Sam masih kecil umurnya baru 10
tahun. Masa kamu mau dengan yang masih kecil gitu. Ha ha ha. Kamu aneh, Rin.” jawab kakakku sambil tertawa terbahak-bahak
“Hah? 10 tahun? Gak jadi
deh.(lalu tersenyum)” kaget namun malu juga
“Makanya ditelusuri dulu, kalau
mau dijadikan pacar.”
“Yah, aku kena deh!”
Makananpun datang. “Sudah ah
ngomongnya, makan dulu baru lanjut ceritanya.”
Saat makan malam berlangsung aku
memainkan handphone untuk buka
facebook. Stan emang sudah menghipnotisku, dulu saat makan malam aku tidak
pernah memegang handphone, sama
sekali tak pernah namun kali ini aku memegangnya.
Benar saja, saat aku membuka
facebookku. Satu pesan tertera di layar
kaca handphoneku. Ternyata Stan ingin
mengetahui nomor hpku. Sempat takut diapa-apain sih tapi aku beranikan diri
untuk memberikan nomor hpku. Sehabis makan malam, kami belum beranjak dari
tempat duduk masing-masing karena terlalu kenyang, saat itulah aku cerita pada
kakakku dan memperlihatkan fotonya. Saat memperlihatkan fotonya, nomor asing
masuk. Tak pernah terlintas dalam benakku bahwa Stan akan meneleponku. Aku
menjawabnya dan tentu saja kakakku dan Rina nguping. Jadi aku loudspeakerin hpku agar mereka tidak
kesulitan untuk mendengarnya. Stan hanya membicarakan hal-hal yang klasik. Dia
menanyakan kapan aku berangkat ke London dan di Indonesia sekarang jam
berapa. Sejak mulai itulah, aku tidak sering lagi membuka facebookku karena
sekarang aku sudah mengetahui nomor hp dari Stan dan sebaliknya begitu. Kami
keseringan sms dibanding untuk telepon-teleponan karena kesibukan
masing-masing.
Masa training tour dimulai, sempat gugup karena yang terlintas adalah
takut tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh orang Inggris itu. Namun
setiap kali bertemu aku mencoba untuk menyapa, menanyakan hal-hal yang belum
jelas atau yang tak ku ketahui. Hari pertama aku gugup, hari kedua mulai santai
dan hari ketiga aku sangat santai.
Hari yang sangat ditunggu-tunggu
olehku dan Rina karena pada hari senin, tanggal 26 Rinapun akan pergi keluar
negeri. Bukan bersamaku namun bersama kakakku ke Singapura. Aku senang ternyata
keluarga peduli juga dengan sahabatku, sama halnya orangtua Rina yang peduli
sekali denganku.
Hari minggu, aku dan Rina yang
akan berangkat besok sangat sibuk menyiapkan segala macam perlengkapan selama
diluar nanti. Hingga makananpun kita perhatikan, takutnya tidak berselera
dengan makanan diluar yang telah memiliki cita rasa berbeda dari Indonesia. Kakakku
yang telah lama tinggal diluar tidak terlalu ribet, malah dia menemani kami
untuk membeli segala peralatan yang dibutuhkan dan juga memberikan
nasihat-nasihat untukku yang akan pergi jauh darinya.
“Kamu nanti disana jangan
keseringan keluar dari kamar, ya. Kalau bertemu dengan orang asing atau yang
baru kamu kenal disana jangan terlalu dipedulikan, ya. Kamu tahu kan kalau
disana banyak sekali pencurian dan pencurinya buka seperti di Indonesia.
Pencuri-pencuri disana gak punya hati. Ingat, ya?” nasihat kakak
“Iya iya kak, aku ngerti kok.
Udah yuk tidur. Besok aku gak sabar.”
“Ya udah.”
Jam 5 pagi aku terbangun, aku
memegang pipiku seperti ada air namun apakah itu? Ternyata aku tidur dengan
iler yang telah menyebar. Maklumlah, lelah yang menderaku sangatlah parah
hingga aku tertidur tanpa sadar.
Jam 6.30 aku membangunkan kakak
dan Rina agar segera mandi dan siap-siap. Saat kakakku telah terbangun, dia
langsung tersenyum padaku. Sempat bingung. Kakakku berkata padaku bahwa tadi
malam, tepat jam 11 malam aku mengigau tak jelas dan aku menyebut nama Stan.
Sempat tak percaya, Rina yang mendengarnya pun langsung tertawa dan mengatakan
apa yang dikatakan kakakku itu ternyata beneran terjadi. Saat aku mengigau, Rina
terbangun dan kaget karena suaraku yang menyebut nama Stan sangatlah
mengganggunya. Setelah mendengar cerita itu, aku masih bingung karena aku belum
pernah seperti itu apalagi menyebut-nyebut nama seorang lelaki yang baru
kukenal.
“Cha, kayaknya kamu sudah jatuh
cinta sama Stan, deh.” kata Rina yang baru saja keluar dari kamar mandi
“Ehh kamu ngasal aja kalau
bicara. Aku belum jatuh cinta tapi aku gak tahu nanti saat di London aku bakal
jatuh cinta pa kagak.” kataku sambil membereskan barang-barang
“Nah, itu apaan di London. Jangan
main-main disana, belajar yang baik tahu.” kata kakakku yang mendengar sedikit
pembicaraan aku dan Rina
“Ihh, kakak gitu. Kan suami kakak
dari luar juga. Kali aja ntar suamiku dari luar negeri juga.”
Beberapa menit setelah percakapan
berakhir dan koper-koper telah ditaruh kebagasi, handphoneku bergetar. Saatku lihat ternyata sms dari Stan.
“Safe flight, dear.” smsnya
“Aku belum berangkat, aku masih
dirumah, kok.” Balasku
“Ohh. Mau aku jemput? Aku sedang
tak ada pekerjaan dikantor nie.”
“Kantor? Kamu sudah bekerja?”
“Iya, maaf aku baru
memberitahukan kamu. Aku bekerja disalah satu perusahaan di London sebagai direktur.”
“Wow, kamu direktur? Pasti
pinter, kan?”
“Gak juga, kok. Mau gak aku
jemput?”
“Kalau boleh, aku mau, sih.”
“Siaplah. “
“Baiklah, kalau aku sudah di
bandara London. Aku sms kamu, ya. (mengetik sms sambil tersenyum karena
bahagia)”
“Okay, dear. I’m waiting for you.
Safe flight and welcome to London.”
Karena sudah kegirangan aku pun
memberitahu kakak dan Rina. Kakakku hanya menasihatiku agar hati-hati terhadap
orang yang baru dikenal apalagi hanya teman chat di facebook. Aku sebagai
adiknya selalu menuruti apa kata kakakku karena hanya dialah yang aku punya.
Sehabis semua barang-barang yang
akan kami bawa sudah masuk kedalam bagasi mobil, kamipun berangkat karena takut
ketinggalan pesawat seperti film di Home
Alone. Selama perjalanan ke bandara Adi Sujipto, aku, kakak dan Rina
bernyanyi, cerita dan bercanda. Kami semua senang, saat ingin masuk ke ruang
tunggu aku berpisah dengan kakak dan Rina karena pesawat yang akan kutumpangi
berbeda dengan mereka.
“Adik sayangku, jangan
nakal-nakal, ya. Kakak tidak nyangka kamu sudah bisa besar dan bakal berpisah
lagi dengan kakak.” sambil memelukku erat dan air mata yang ada dipipi pun
jatuh tak terhingga
“Kakak.. Jangan nagis dong, aku
ikutan nangis nih!” balasku sambil menangis dan memeluk kakak dengan eratnya
“Cha, I love you so much. You are
my best friend and my best sister I ever have.” tangispun keluar juga dari Rina
“Tumben kamu nangis. Aku bakal
balik, kok. I love you to, my sister.” kataku sambil memeluk erat Rina yang
menangis juga
“Bye, semua. Aku duluan. Stan
menungguku di Heathrow, London. (sambil tersenyum dan mengusap air mata yang
jatuh)”
“Hati-hati, sayangku.” kata kakak
“Bye, sist. Hati-hati, ya. Dan
salam buat Stan.” kata Rina
Aku masih ingat betapa
mengharukan hari itu. Aku harus pisah cukup lama dari kedua orang yang sangat
kusayangi. Namun aku pergi pun untuk menambah ilmu dan sedikit refreshing sejenak dari kepenatan kuliahku.
Saat berada diruang tunggu, aku
mendengarkan musik sambil membaca novel karangan Franz Livorpi yang sangat
terkenal yaitu Saat Cintaku Hilang. Sangat sedih. Ditiketku aku akan berangkat
dua jam lagi. Selama menunggu aku kepikiran dengan Stan. Aku masih belum
percaya kalau dia bakal menjemputku di bandara, dan akupun teringat dengan
nasihat kakakku yang mengatakan bahwa aku harus berhati-hati dengan orang asing
ataupun yang beru aku kenal. Tapi sudahlah, berpikir positif akan lebih baik
supaya tidak menjadi tua sebelum waktunya.
Satu setengah jam telah berlalu.
Aku mendengar pesawat yang kutumpangi telah menunggu. Akupun segera berdiri
dari tempat aku duduk dan langsung memasuki pesawat yang akan membawaku ke
tempat belajarku. Masih gugup karena ini pengalaman pertamaku di London.
Pertama kali yang kulakukan saat
telah duduk didalam pesawat adalah sms kakak, Rina dan Stan. Memberitahukan
kepada mereka bahwa aku sudah didalam pesawat dan akan terbang menuju bandara
Heathrow, London.
Selama pesawat lepas landas, yang
aku lakukan adalah lanjut membaca novel yang kubawa dan juga tidak melewati
pemandangan yang bisa kulihat lewat kaca pesawat. Dari pagi menuju siang, siang
ke sore dan malampun menyambut. Makan malam dipesawat tanpa ditemani Rina
ataupun kakak rasanya sepi.
Pagi kembali menyapa, aku sempat
bingung kapan aku sampai ke London? Ternyata siang tepat jam 2.30 waktu
Indonesia. Ternyata Indonesia dan London beda 9 jam lebih lama. Jadi sekarang
di London 5.30 sore. Saat pertama kali aku turun dari pesawat, aku langsung
menghubungi Stan. Stan pun datang
menghampiriku.
“Assalamualaikum. (sambil
tersenyum manis)”
“Walaikumsalam, kamu? (balas
senyum juga walaupun belum tahu siapa orang itu)”
“Aku Stan, kamu Terisya, kan?”
“Iya.”
“Sini, aku bawakan
barang-barangmu. Bagaimana keadaanmu selama dipesawat?”
“Baik-baik saja. Maaf ya aku lama
sampai disini.”
“Tidak mengapa untukku, kan bukan
kamu yang mengendarai pesawatnya. Kamu mau diantar kemana?”
“Aku akan menginap di Hotel 41.” kataku yang melihat pemandangan kota London dari kaca mobil
“Hotel 41? Kamu yakin?”
“Iya, aku yakin. Memang ada yang
salah?”
“Tidak, sih. Hotel 41 adalah
salah satu hotel yang bayar nginapnya bisa dibilang sangat mahal. Kamu
dibayarkan dari Indonesia?”
“Mmm..iya.”
“Lalu berapa lama kamu disini?”
“Selama tiga minggu. Dua minggu
untuk belajar dan satu minggunya lagi untuk aku liburan.”
“Kamu sangat pintar, ya?
Sampai-sampai kamu diberi hadiah yang sangat istimewa.”
“Tidak juga, kok.”
Selama beberapa menit kami
berbincang. Tidak terasa aku telah sampai di tempatku beristirahat. Ternyata
aku sudah ditunggu dari Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Inggris. Aku
sempat berbincang sebentar dengan beliau dan aku juga memperkenalkan Stan
kepada beliau. Aku tidak menyangka, aku layaknya putri yang berada di
singgahsananya.
Agendaku di London telah
terjadwal didalam buku yang diberikan oleh salah satu staff KBRI. Menurut agenda, malam ini aku akan makan malam diluar
bersama-sama orang-orang Indonesia yang berada di London. Esok harinya, aku
mulai dengan tujuan awalku yaitu belajar dari satu universitas ke universitas
lainnya dan memberikan pendapat. Aku juga berkesempatan untuk bisa menjadi
mahasiswa di London.
Universitas pertama yang
kukunjungi adalah Universitas Stanford. Empat hari kuhabiskan untuk menjadi
mahasiswa Stanford. Disana fasilitasnya sangat bagus, akupun dengan cepat
mendapatkan beberapa teman seperti Michelle, Grout, Hans dan ada juga warga
Indonesia yang menjadi mahasiswa disana, namanya ialah Satria. Namun disana,
mahasiswa yang mayoritas beragama Kristen masih menganggap bahwa Islam adalah
jahat dan tidak patut. Aku yang beragama islam pun memberikan penjelasan sedikit
tentang arti sebenarnya Islam tersebut.
Sehabis dari Stanford, aku
dipindahkan ke Universitas Jordan. Disana aku menjadi mahasiswa selama lima
hari. Yang aku suka di universitas ini adalah semuanya sangat menyambut baik
setiap siapapun yang ada disana. Semuanya ramah tanpa adanya deskriminasi. Aku
berjumpa dengan orang dari Afrika asli yang beragama Islam, Kessy. Aku sempat
mengobrol dengannya dan meminta pendapatnya tentang Universitas Jordan. Dan apa
yang kupikirkan sama dengan pemikirannya juga. Mungkin jika aku berada disini
kuliah yang akan kutuju adalah universitas ini, Universitas Jordan.
Agendaku untuk mendatangi
universitas yang berada di London telah selesai. Aku adalah seseorang yang
tidak ingin diganggu selama aku fokus pada suatu pekerjaan karena itulah hpku
aku non-aktifkan untuk sementara. Dan saat ku buka, aku telah menduganya. Sms
sangat banyak dari Rina, kakak dan Stan. Rina dan kakakku ternyata telah sampai
di Singapura. Dan kabar yang kuterima Rina telah akrab dengan adik kerenku,
Sammy. Sempat sedih tapi senang juga. Lalu kakakku berencana mendekatkan Rina
dengan salah seeorang temannya yang dia kenal baik. Saat mendengar rencana
kakakku, aku hanya berharap itu yang terbaik untuk Rina.
Dilain sms ada Stan, yang
ternyata mengajakku untuk dinner saat malam minggu waktu London. Untuk
mengenalnya lebih jauh akupun meng-iyakan ajakannya dan kebetulan agendaku yang
dijadwalkan saat malam minggu tidak ada. Sms lainnya ialah, saat dinner ada
keluarga besarnya. Sempat ngerasa bahwa Stan benar-benar ingin mengenalkanku
kepada keluarganya.
Satu hari setelah aku berkunjung
ke Universitas Jordan, bapak Thomas mengundangku untuk menghadiri jamuan makan
malam. Ternyata disana sudah banyak undangan. Disambut layaknya ratu, aku
benar-benar merasa aku sedang bermimpi sambil membuka mata. Jamuan tersebut
sekaligus menutup agendaku.
Esoknya adalah hari sabtu,
malamnya adalah malam minggu, aku tak sabar menemui keluarga besar dari Stan
Subrata atau bisa dibilang keluarga Subrata. Aku sempat memberitahukan kakakku.
Kakakku sempat cemas namun kuyakinkan untuk tidak usah terlalu khawatir karena
ku yakin keluarga Subrata bukanlah keluarga yang jahat atau apapun itu. Kakak
dan Rina sangat senang untukku, aku yang mendengarnya sangat lega karena mereka
tidak khawatir lagi denganku.
Waktu telah menunjukkan 5.00 sore
waktu London, tidak disangka Stan
menelponku dan memintaku untuk berpakaian yang bagus dan turun ke parkiran.
Bingung adalah kata yang pertama kali kukatakan. Saat aku sudah turun ke
parkiran, aku melihat Stan yang berjas dan memegang kotak kecil berwarna merah.
Kalian pasti telah bisa menebaknya.
Sesampainya dirumah Stan, aku
disambut dengan begitu hangat. Aku duduk di sofa dengan kakak iparnya dan
ibunya. Aku sempat gugup namun coba untuk tenang, ditengah-tengah mereka, aku
seperti diinterogasi. Layaknya orang yang sangat ingin tahu.
“Hello, Ter..” salam Catherina
“Terisya. Assalamualaikum.” balasku dengan tersenyum
“Ohh nama kamu Terisya?
Walaikumsalam.” sahut ibunya
“Iya, tante. Tante bisa
menggunakan bahasa Indonesia?”
“Iya, dong. Itu wajib didalam
keluarga Subrata. Stan telah banyak menceritakan kamu ke tante.”
“Ma, maaf ku potong. Aku ingin
mengungkap perasaanku ke Terisya, ya.” ungkap Stan memotong pembicaraan aku dan
ibunya
“Tolong semuanya bisa ke sini
semua. Dan tolong untuk dengarkan isi hatiku. Aku, Stan Subrata, anak kedua
dari tiga bersaudara. Mungkin ini akan mengejutkan Terisya, cewek yang kukenal
lewat facebook. Meski ini singkat, namun aku percaya aku dan Terisya bisa
lewati. Terisya, aku ingin kamu menjadi orang yang selalu dan selalu
disampingku, hingga maut yang memisahkan kita.” lanjutnya
“(masih bingung)”
“Will you marry me?”
“(tersenyum)..”
“I will.. I will.. I will..”
teriak saudara-saudara Stan dengan serempak
“Mmm…yes, I will. (tersenyum
bahagia)” jawabku
“Thank you, dear.”
“But wait, aku harus
memberitahukan hal ini kepada kakak dan sahabatku. Bolehkah aku menelpon mereka
sekarang?”
“Yes, of course.” ucap Mrs. Subrata
dengan raut muka bergembira
“(sambil mencari nomor hp kakak,
aku pergi sedikit jauh dari keluarga Stan karena kebahagiaan yang dirasakan
keluarganya membuat semua anggota keluarga ucapkan selamat)”
“Congratulation, Stan.” ucap satu
persatu keluarganya
“Tiiiitttt..Tiiitttttt..”
menelpon kakak
“Assalamualaikum, Cha?” jawab kakak
“Walaikumsalam, kak. Aku sekarang
berada di rumahnya Stan. Dan..” sambil loudspeakerin
hp agar keluarga Stan mendengar juga
“Ngapain kamu disana? Ayo
bukannya belajar?” Tanya kakak dengan curiga
“Ini aku baru saja mau kasih tahu
tapi kakak potong. Pembelajaranku untuk kunjungi universtas-universitas sudah
selesai, sekarang aku tinggal liburan aja, kak. Aku sudah dilamar Stan, kak.
Apa kakak setuju?”
“Apa? Kamu dilamar? Kapan?”
“Sekarang dan dirumahnya Stan.
Sekarang keluarganya pun mendengar percakapan kita, kak.”
“Hallo, kakaknya Terisya. Saya
dengan ibu dari Stan Subrata. Saya mewakili bapaknya Stan yang sedang kerja di
Singapur, ingin nak Terisya bisa menjadi salah satu keluarga Subrata. Apakah..”
ibu dari Stan ingin menjelaskan kepada kakakku
“Tasya bu, namanya.” kataku
dengan pelan
“Iya, apakah nak Tasya ni setuju
dengan lamaran ini. Karena Stan telah banyak cerita tentang Terisya ini. Lalu
dia juga bilang ingin mengakhiri masa mudanya dengan Terisya hingga maut yang
memisahkan mereka, itulah permintaan Stan. Jadi, saya sebagai ibunya hanya
ingin yang terbaik untuk anak saya begitu. Bagaimana?”
“Begini, bu. Saya juga dulu
dilamar sama persis seperti Icha ini. Saya sebagai kakaknya kan tidak bisa
memaksa Icha untuk tidak atau mau dilamar, kan. Jadi sejak awal juga saya
melihat Icha ini care all about Stan.
Saya setuju jika Icha pun tidak tertekan. Kalau boleh tahu papanya Stan di
Singapur untuk apa ya? Karena saya juga tinggal di Singapura, barangkali bisa
bertemu untuk membicarakan ini juga.”
“Bapaknya Stan bekerja disalah
satu perusahaan di London. Dan perusahaannya ingin mengembangkan tempat
produksinya jadi bapaknya Stan sementara ditugaskan disana. Sebentar saya akan
bertanya lagi ke Terisya, ya nak.”
“Bagaimana, nak Terisya? Apakah
kamu benar ingin menjadi salah satu keluarga Subrata dan menjadi seorang yang
berharga untuk Stan dan menemaninya hingga maut yang memisahkan?” lanjut Tanya
ibu Stan ke aku
“(tersenyum) Iya aku mau, tan.”
“Bagaimana Tasya sudah
mendengarnya? Terisya tidak kami suruh untuk bilang iya loh.” meyakinkan
kakakku
“Mmm..saya hanya bisa bilang congratulation, sayangku. Icha dan Stan
mudah-mudahan bisa menjadi seperti harapan mereka.”
“Yeaahh..” teriak semua anggota
keluarga Subrata yang tadi telah menunggu persetujuan dari kakak
“Bolehkah saya berbicara sebentar
kepada Stan? Hanya memastikan untuk menjaga Icha disana.” permintaan kakak
“Iya, sist.” Stan yang mendengar
langsung menuju dekat meja
“Stan, kakak cuma pesan sama
kamu. Icha belum pernah mendapatkan kejutan seperti ini. Sekali terluka, dia
akan coba untuk melupakannya, walaupun dia sudah memaafkan orang tersebut.
Jadi pesan kakak, jangan coba untuk lukai dia karena tidak ada kesempatan
kedua, ataupun ketiga. Kamu mengerti?”
“Siap, kakak. Akan aku ingat
pesan kakak. Tidak akan melukai jika ingin bersamanya hingga maut memisahkan.
Terima kasih kak atas pesannya.”
“Baiklah, hanya itu yang bisa
kakak katakan. Cha..”
“Iya, kak.”
“Jadi yang terbaik, ya sayangku.
Kakak masih ada acara. Selamat sore semua, wassalamualaikum.”
“Walaikumsalam.” jawab keluarga
Stan dengan serempak karena memang semua keluarganya beragama Islam
Semenjak itulah, aku Terisya
telah menjadi Terisya Subrata alias keluarga dari Stan Subrata yang saat itu
menjadi calon suamiku. Dari kejadian itu, aku meyakinkan separuh hidupku ke
Stan. Dan juga dari situlah aku mulai tumbuh untuk menjadi dewasa. Dan akhir
dari malam itu adalah kebahagiaan yang tak akan pernah kulupakan selama
hidupku.
“Kamu dipanggil Icha?” tanya Stan
yang penasaran saat makan malam sekeluarga sedang berlangsung
“Iya, apakah aneh?”
“Tidak, sih untuk wanita yang
akan menjadi istriku.(tersenyum)”
“Hey, kid. Jangan bicara saat makan malam, ya.” sahut Catherina, kakak
ipar dari Stan
“(tersenyum kembali)” aku sambil
melihat Stan
30 menit dihabiskan oleh kami
semua atau bisa dibilang keluarga baruku untuk makan malam kali ini. Adzan isya
yang terdengar dari rumah Stan yang memang tak jauh dari sebuah masjid kecil.
Kami semuapun melaksanakan shalat berjamaah. Sehabis shalat, kami semua
menyempatkan berdo’a untuk kelancaran bagi aku dan Stan. Dalam do’aku hanya
harapan baik yang terucapkan. Bisa menjadi istri yang baik untuk lelaki yang
saat ini bersamaku adalah salah satu do’aku.
Shalat telah dilaksanakan,
menonton film terkenal adalah kegiatanku saat berkunjung ke kediaman dari Stan.
Kami semua yang menonton terbawa emosi dari film Titanic, kalian pun akan setuju denganku yang mengatakan film ini
adalah salah satu film terbaik selama ditayangkan. Saat sedang menonton, aku
yang sangat terbawa dengan cerita ini, terus mengeluarkan air mata hingga aku
tak sadar telah menempelkan kepalaku ke pundak Stan yang berada disampingku.
Film telah habis, kami melihat
kearah satu sama lain, dan kamipun tertawa karena banyak dari kami termasuk
calon ibu mertuaku saat itu menangis juga. Dan aku melihat sepertinya mukaku
yang paling merah, sehabis air mata yang mengalir dipipiku. Tisu yang awalnya
ada dua pak, sekarang tinggal setengah pak.
Karena sudah pukul tepat 09.00 malam waktu London. Aku harus pulang ke hotel. Karena tidak mungkin aku pulang
sendiri ditengahnya malam, untuk itu Stan mengantarku.
“Semuanya, aku pamit dulu.
Assalamualaikum.” mengucapkan salam kepada seluruh anggota keluarga yang kebetulan
akan berada di rumah Stan selama beberapa hari
“Iya, wassalam. Hati-hati, Icha.
Stan jangan ngebut dijalan, ya. Kasihan istrimu, uuuppzzz(sambil tersenyum)”
kata Catherina
“Hmm.” kata Stan sambil
membukakan pintu mobil untukku
Selama perjalanan, aku dan Stan
mengobrol, bercanda, tertawa. Menceritakan pengalaman semasa kecilpun kami buka
hanya untuk mengusir kejenuhan selama perjalanan. Dalam hatiku, aku sangat
sangat bahagia bisa mendapatkan cowok yang memang serius.
Sampailah aku dihotel, sebelum
aku membuka pintu mobil. Stan yang terlebih dahulu turun langsung membukakan
pintu untukku. Sungguh terasa raja dan putri.
“Terima kasih atas makan
malamnya, ya. Dan aku sangat suka dengan keluargamu. Sangat seru berada
ditengah keluargamu.” pujianku untuk keluarganya
“Sama sama. Apakah aku sudah
bilang kamu sangat cocok dengan gaun itu? Kamu sangat cantik, dear. Bolehkah aku mencium keningmu?”
“Mmm..untuk itu aku menolak. Kita
belum resmi menjadi suami istri.”
“Lalu tadi kepalamu bersandar
dipundakku?”
“Pundakmu? Aku tak mengingatnya.
Bila iya aku lakukan itu, aku minta maaf.”
“Buat apa kamu meminta maaf?
Sudah lupakan itu. Masuklah. Besok aku akan menjemputmu.”
“Okelah. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.(senyum dan
melambaikan tangan untukku)”
Aku yang saat itu memakai gaun
berwarna merah, kali ini mukaku pun merah karena senang yang kudapati malam
ini. Dulu, dijariku tidak terdapat warna yang berkilau, namun berbeda dengan
saat itu. Cincin lamaran terlingkar di jariku. Menuju kamarku, yang kupikirkan
hanyalah bagaimana dengan nanti. Nanti disaat aku menjadi istri, disaat aku
menjadi ibu. Dua peran yang dilihat gampang namun untuk dilakukan sangat sulit,
apalagi diumurku yang masih muda.
Didalam kamar aku mencari hpku
dan sms kakakku. Kakakku ternyata terkejut saat aku dilamar oleh Stan, dan
sempat tak ingin menyetujuinya. Namun akhirnya kakakku menyetujuinya karena
tahu tentang perasaan yang sebenarnya telah kupendam. Aku juga mendapat kabar
bahwa Rina sekarang telah mendapat tambatan hatinya. Seorang lelaki yang
bekerja sebagai direktur di salah satu perusahaan ternama, yang kebetulan juga
lelaki tersebut adalah teman dari Randy Wang (nama dari suami kakakku). Lelaki
tersebut bernama Lee Shen. Bahagiaku berlipat ganda ketika mendengar kabar
bagus itu.
Pagi hari, tepat jam 06.00 waktu
London, Stan membangunkanku dengan menelponku. Ternyata Stan ingin mengajakku
berolahraga, namun kutolak karena saat aku hendak pergi ke London, aku sama
sekali tak membawa baju olahraga atau celana untuk berolahraga. Jadi, rencananya
berubah dengan makan siang disalah satu cafe
kesukaannya, Style Cafe. Obrolan
sederhana terucap dari kedua bibir kita.
“Kok, disini orang-orangnya pada
gak libur saat minggu?” heran
“Memang harus, ya. Waitress..” sambil memanggil pelayan dan
langsung memesan makanan dan minuman
“Kalau di Indonesia gak libur
juga sih tapi pada pagi hari ampe siang hari jarang ada cafe yang buka, karena pada pagi hari orang semua olahraga dan
siang hari pada tidur siang.”
“Beda disini. Disini cafe pada libur pada hari senin.”
“Kok hari senin? Ada apa dengan
hari senin?”
“Entahlah, akupun tak ingin
mengetahuinya. Sudahlah, makan dulu.”
Begitulah Stan, tidak pusing
dengan masalah apapun. Baginya masalah besar adalah bila sesuatu yang menimpa
keluarganya dan dia terlibat juga itu adalah masalah besarnya.
Berbincang-bincang dengan asiknya. Sebenarnya, aku belum pernah seperti ini.
Ini pertama kalinya, harus serius dengan seorang lelaki yang akan menjadi
suamiku.
Pembicaraan kita sempat terhenti
dengan datangnya seorang cewek. Cewek tersebut tidak punya sopan santun. Dia
langsung menciumi pipi dari Stan yang statusnya adalah calon suamiku. Cemburu,
pastilah. Aku sempat ingin sekali
menempelkan lima jariku ke pipinya.
“Stan, hello.(menciumi pipi
Stan)” cewek yang belum jelas
“Gwen. Go away from me!” kata Stan dengan kesal
“Hai. Who are you?” menyodorkan
tangan kepadaku
“Aku Icha. Stan is my husband.” kataku dengan tegas. Padahal Stan baru calon.
“What? I’m sorry. Saya adalah
mantannya.” sambil tersenyum jahat
“Baiklah. Bisa menjauh darinya?
Sekarang dan untuk selamanya?”
“Maaf, tapi saya masih
menyayanginya. Ada masalah?”
“Oh, jelas dong! Kamu perempuan
murahan, ya!” kataku dengan emosi
“Gwen, pergilah. Aku adalah
calonnya dan kita berdua akan menikah segera mungkin. Jadi, pergilah!” Stan
yang mencoba mengusir Gwen
“Mmm.. baiklah. Tapi ingat saya
akan kembali disaat yang tepat.”
Keributan di cafe tersebut tidak bisa
terhindarkan. Aku yang saat itu masih tersulut emosi, tidak jadi untuk makan
dan meninggalkan Stan sendiri, langsung menaiki mobil. Stan yang melihatku yang
sangat marah, mengejarku dan menjelaskan semuanya.
Ternyata Gwen adalah pacarnya
saat dia duduk dikelas 10. Mereka telah berpacaran selama 4 tahun. Sampai pada
akhirnya Stan harus memutuskan Gwen karena didepan matanya Gwen yang saat itu
mabuk sedang berciuman dengan sahabat Stan sendiri, Michael. Saat itu Gwen
mencoba menyembunyikan hubungannya dengan Michael. Seperti pepatah, Sepandai-pandainya tupai melompat akan
terjatuh juga. Sepandai-pandainya Gwen bersembunyi dari Stan, Stan akan
menemukan kebusukan itu.
Setelah menjelaskan semuanya, aku
mulai tenang. Namun, ketakutan dalam diriku saat itu adalah perasaan Stan akan
kembali ke Gwen. Aku mencoba percaya padanya.
“Ya sudahlah. Ayo, kita pulang.
Aku tidak nafsu untuk makan lagi.” kataku
“Baiklah. Tapi aku bayar dulu.
Kamu tunggu dimobil,ya.”
“Baiklah.”
Aku yang didalam mobil masih
sangat cemburu. Entah mengapa saat itu, aku tak ingin kehilangan Stan. Mungkin
karena ini kali pertama aku diperlakukan spesial oleh seorang cowok, akupun tak
mengerti. Sejak kejadian itu aku lebih emosional apabila Stan tidak memberikan
kabar kepadaku.
Waktuku di London tertinggal satu
minggu lagi. Hari senin, selasa, dan rabu adalah hari yang sangat
membahagiakan. Dihari itu aku selalu bersama Stan, kemanapun ada aku dan dia.
Tiba-tiba hari kamis sangat berbeda, kurasa Stan tak ingin bersamaku lagi.
“Cha, Gwen smsan sama
aku.” katanya
“Ohh.” jawabku dengan tak
memperdulikan
“Dia sungguh-sungguh ingin
kembali padaku.” lanjutnya yang ingin memanas-manasiku
“Lalu, kamu jawab semua sms dia?
Kamu itu tunangan aku atau teman aku? Jujur aku sayang kamu.” kataku dengan
emosi sambil menangis
“Cha.. Cha..”
Saat itu, aku belum mau bertemu
dengan Stan. Setiap kali dia menelpon, aku reject.
Tiap kali dia message aku di facebook, aku tak balas. Namun lama-lama aku rindu
dia. Aku berulang kali berpikir apa yang salah. Aku merasa aku yang egois. Gwen
adalah masa lalu Stan, apa yang harus kucemburui?
Setelah lama merenungkan apa yang
terjadi. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta maaf ke Stan tentang
keegoisanku. Untuk meminta maaf aku menyiapkan sendiri makanan untuk Stan yang
saat itu berada dikantornya. Namun apa yang kudapati. Kumelihat hal yang tidak
seharusnya kulihat.
“Pasti Stan suka dengan ini.” kataku
sambil membawa tempat makanan untuk Stan makan siang dikantor.
Setelah aku tepat berada didepan
ruang Stan, aku melihat Gwen dan Stan sedang berciuman didepanku. Menangis,
tentu kulakukan. Namun tangisanku belum menyadarkan mereka berdua.
“(berkata dalam hati) Sayang,
kalau kamu benar ingin bersamaku. Aku ingin kamu berbalik saat aku hitung
sampai tiga. Satu.. dua.. tig..(tempat makanan yang kubawa terjatuh)”
Stan yang sadar dengan
keberadaanku langsung melepas Gwen dan mengejarku yang saat itu menangis. Sakit
pastilah sakit, sayang yang telah kuterima dan persilahkan untuk masuk kedalam
duniaku ternyata bukanlah jodohku. Bukanlah harapanku. Saat itu juga aku
melepas cincin dari Stan, menghapus nomor handphone Stan.
Aku yang saat itu hanya seorang
diri datang ke London langsung menceritakan ke kakakku, Rina, dan Catherina.
Aku sangat kecewa pada Stan. Aku sangat bodoh dan tak bisa berpikir jernih.
Tangisanku menemaniku selama dua hari berturut-turut hingga akhirnya aku harus
meninggalkan London dan kenanganku di London.
“Assalamualaikum, kak. Icha pamit pulang, ya. Maaf Icha belum bisa
menjadi keluarga kakak seutuhnya. Salam buat ibu dan Stan. Wassalamualaikum.”
Itulah isi smsku ke kak
Catherina, kakak ipar dari Stan. Aku ingin sekali berbicara langsung ke ibunya
Stan, tetapi aku pikir itu hanya melukai hatinya. Sms itu kukirimkan saat jam
menunjukkan pukul 6 sore waktu London dan aku sudah berada di Heathrow, London.
Selama menunggu pesawat yang akan kutumpangi datang, aku menelpon kakakku.
“Assalamualaikum, Cha.”
“Walaikumussalam, ini dengan kak
Tasya bukan?” tanyaku karena suara yang kudengar bukanlah suara kakakku
“Bukanlah. Ini dengan Rina,
kakakmu sedang ke kamar mandi. Cha, aku turut sedih dengan apa yang kamu alami.
Kamu baik-baik saja, kan?
“Iya, makasih banget. Ngapain
harus sedih?” mataku sudah berkaca-kaca
“Kamu memang cewek yang sangat
tegar yang pernah kukenal. Kamu sudah akan balik ke Yogya?”
“Iya, saat ini aku sedang berada
dibandar udara Heathrow, London. Kamu selamat, ya. Sudah mendapatkan tambatan
hati. Cari cowok jangan seperti aku, ya. Aku terlalu terlena dengan apa yang
ada.”
“Itu juga berkat kakakmu aku bisa
mengenal Lee. Ini kakakmu sudah ada, bicaralah.”sambil memberikan handphone ke kakakku
“Assalamualaikum, sayangku. Kamu
masih menangis? Kakak janji tidak akan membiarkan cowok itu nyakitin kamu lagi.
Kamu ke kakak aja ya!”
“Aku udah gak nangis lagi kok.
Mungkin ini sudah menjadi ceritaku dan menjadi bekalku untuk
kedepannya.” mencoba tersenyum
“Sayang, kamu harus tegar, ya.
Seandainya kakak ada disitu udah kakak cari cowok itu. Kakak akan buat dia
menangis darah. Enak aja udah buat adik tersayang kakak ini menangis. Padahal
adik kakak ini kan cantik.”
“Hmm, iya kak. Mungkin dia hanya
ingin cewek yang sexy aja, kan aku gak sexy tapi aku baik hati.” mencoba tersenyum dalam tangisan
“Nah, itu baru adik kakak yang
manis, cantik, dan baik hatinya. Kamu ke Singapur aja deh. Temani kakak dan
Rina disini. Mau, kan? Ayolah? Kakak sangat ingin temani kamu disini. Dan
sangat ingi ditemani kamu.”
“Mmm.. kayaknya setelah aku dari
Yogya aja deh. Soalnya aku harus melapor ke Pak Suparman. Kan, ini laporan
harus ada di tangannya beliau. Maaf ya, kak. Aku janji deh setelah beberapa
minggu di Yogya, aku bakal ke Singapura sesegera mungkin.”
“Oh, iya kakak lupa dengan pak
ketua. Baiklah, kamu akan berada di Yogya selama 1 bulan saja dan akan langsung
berangkat ke Singapura. Dan sebagai kakak yang sayang adiknya, kakak bakal
minta ijin ke Pak Suparman agar kamu di Singapur selama dua minggu.”
“Makasih, kak. Kak, aku harus
naik pesawat nie, kita cerita lagi ntar kalau aku udah nyampe di Indonesia.”
“Baiklah, adikku sayang.
Hati-hati. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Saat itu juga aku langsung
memasang headphone untuk mendengar lagu-lagu favoritku. Dan ternyata di waktu
yang bersamaan Stan yang mengetahui aku akan pulang ke Indonesia hari ini, dan
tentu saja hal itu dia tahu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari kak
Catherina yang memberitahukannya. Dia langsung berangkat ke bandara dan sesaat
setelah sampai di bandara, dia melihatku yang saat itu sudah memakai headphone
dan memegang koper merahku. Lantas aku saat itu tak mendengar apapun, dari
kursi menunggu ke kursi pesawat.
Selama aku didalam pesawat, aku
selalu memandang keluar jendela dan kebetulan, kursiku memang didekat jendela.
Aku selalu berkata dalam hati, “Sempat
akan dijadikan tempat yang terindah. Tapi sayang itu hanyalah sebuah anganku.”
Beberapa kali melihat keluar jendela dan berharap suatu hari nanti aku akan kembali
dengan cerita yang sangat menakjubkan bukan kembali dengan menyedihkan seperti
saat ini. Mungkin Allah akan memberikan hal yang sangat menyenangkan ke
depannya. Aku harus pasrah kali ini, baru pertama kali merasakan jatuh cinta
sudah diberikan cobaan sedalam ini.